Kelas Kedua belas; Ingatan Regen

0 0 0
                                    

Asrama Hevn.

Tepatnya kamar Regen dan Zain.

“Regen?” panggil Zain melihat Regen yang melamun di meja belajar milik Aprie.
“Aku tahu perasaanmu. Tapi, masih ada yang harus kita selesaikan,” kata Zain.

Regen menghela napas panjang. Dia bangkit dari kursi. Menarik jas almamater yang tersangkut di kursi. Kemudian berbalik kearah Zain. Regen tidak menyadari almamaternya menyentuh laporan karya ilmiah dan membuatnya terjatuh ke lantai. Ketika menggeser masuk kursi, laporan karya ilmiah itu pun masuk ke bawah meja belajar milik Aprie. Dan Regen keluar kamar mengikuti Zain yang lebih dulu keluar.
 
Regen berjalan menuruni tangga. Pelan. Ketika sudah berada di anak tangga yang paling bawah, seseorang memanggilnya. Saat berbalik, tidak ada orang sama sekali. Dia berjalan menjauh dari tangga. Namun, suara orang yang memanggilnya muncul kembali. Dia berbalik. Tepat dilantai atas, seseorang melihat kearahnya. Aprie.

“Aprie?” gumam Regen.

Aprie seolah memberitahukan sesuatu kepadanya. Tapi, suara Aprie sama sekali tidak di dengar oleh Regen.

“Hah? Aku tidak bisa mendengarmu.”

Aprie tetap berusaha memberitahukan sesuatu kepada Regen. Dia memegang lehernya. Seperti menahan rasa sakit. Badannya mulai kehilangan keseimbangan. Kakinya yang ingin menginjak anak tangga, ternyata terpeleset dan jatuh tepat dihadapan Regen.

“Aprie…?!” teriak Regen dan berlari berusaha untuk menolong Aprie.

“Regen?”

Regen terbangun. Dia melihat kesekeliling. Dia tidak berada dalam gedung sekolah. Melainkan, dikamar tempat Aprie dirawat. Tertidur dikursi pengunjung yang terletak mepet dengan tembok. Ruangan tempat Aprie dirawat seperti kamar VIP dirumah sakit. Tiap kamar hanya ada satu ranjang dan tempat duduk untuk yang menjaga. Dan semua ruang rawat inap dalam bangunan Kesehatan Hevn memiliki fasilitas yang sama.

“Kamu mimpi?” tanya seseorang yang ternyata Hasan.

“Ah. Iya,” katanya. Memperbaiki duduknya. “Zain mana?”

“Katanya ada yang harus diurus.” Hasan berjalan kearah tempat tidur Aprie. Dia memperbaiki infus dan mengecek kondisi Aprie.

“Apa dia akan segera bangun?”

Hasan menoleh kearah Regen yang berada dibelakangnya. Dia memperhatikan Regen.
“Berdoalah untuk itu.”

Regen mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Entah kenapa, aku merasa bersalah pada Aprie,” Regen mulai bersuara. Hasan terlihat bingung. Dia mendekati Regen.

“Bersalah?”

“Ya. Beberapa jam sebelum insiden, Aprie ingin memberitahuku hal penting. Tapi, aku tidak menggubrisnya. Saat itu aku sedang sibuk mengurus berkas-berkas transfer. Kupikir dia hanya akan menanyakan hal-hal tidak berguna. Tapi sekarang, aku baru berpikir tentang itu. Apa sebenarnya yang ingin dia beritahu padaku?”

“Em, mungkin…” Hasan menghentikan apa yang akan dikatakannya. Dia mendengar suara aneh dari luar pintu. “ada apa sih?” katanya. Hasan melangkah ke depan pintu. Dia menarik gagang pintu dan membukanya.

“Apa yang kalian lakukan?”

“Ah. Hay?” sapa Odei dan Eysa bersamaan sambil melambaikan tangan kepada Hasan. Wajah mereka malu, karena ketahuan menguping.

“Apa yang kalian lakukan? Kenapa setiap waktu selalu datang kesini?” tanya Hasan sambil berjalan menjauh dari pintu.

“Entah kenapa, aku merasa ingin merawat Aprie sampai dia benar-benar sembuh,” jawab Eysa.

The WitnessNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ