Kelas Keempat; Pintu Yang Tidak Bisa Didobrak

4 1 0
                                    


           Hari minggu tiba. Murid-murid sekolah Hevn dibebaskan dari semua aktivitas akademik. Namun, harus memperhatikan dua hal. Pertama, semua aktivitas yang dilakukan harus di dalam lingkup sekolah Hevn, tidak boleh keluar satu langkah pun dari Kawasan sekolah Hevn. Kedua, tidak boleh mendekati ‘bangunan yang dilarang untuk di kunjungi’.

           Jika di sekolah formal, ketika hari libur, sekolah benar-benar sepi. Seperti tidak berpenghuni. Berbeda dengan sekolah Transisi Hevn. Ketika hari libur tiba, sekolah Hevn benar-benar hidup. Terlihat seperti medan perang. Sejak matahari terbit sampai terbenam, keributan terjadi diberbagai sudut sekolah. Murid-murid merasa seperti seekor burung yang lepas dari sarangnya setelah dikurung bertahun-tahun. Atau, seperti ikan di aquarium yang akhirnya berenang di lautan bebas. Murid-murid bebas memilih apa pun yang mereka inginkan tanpa ada batasan dan aturan. Yang jelas tidak merusak fasilitas sekolah.

           Minggu itu, sebagian murid memenuhi lapangan sepakbola di belakang bangunan akademik. Pertandingan sepakbola antara kelas awal melawan kelas transfer. Kursi penonton terisi setengahnya. Sedang murid yang lain, mempunyai agenda sendiri. Ada yang sibuk di kebun sekolah memetik sayur dan menanam bibit baru. Ada pula yang mengambil hasil panen dari kebun Strawberry. Dan ada yang memasak di dapur sekolah. Selanjutnya, ada juga murid yang menghabiskan weekend mereka di dalam asrama. Bermain catur di kursi santai, mengganggu Pak Busan, manjat pohon dan lainnya. Hari libur bagi murid-murid Hevn adalah kebebasan yang tidak bisa diukur dengan alat ukur apa pun.

           Begitu pun dengan Near. Dia menyibukkan diri dengan laptopnya di temani makanan ringan dan minuman kaleng.

           “Apa yang kamu lakukan?” tanyanya dengan mulut dipenuhi sepotong roti ketika melihat Syam membungkus sesuatu.

           “Tiket untuk bioskop Denny.”

           “Tiket?” Near berpikir sejenak. “Oh, yang kemarin dia bilang itu.” Near berhenti mengetik. “Emm...tentang video, kan? Memangnya video apa”

           “Video kenangan untuk Ryan dan Harry,” jawab Syam.

“Ryan dan Harry?”

“Ah. Aku lupa. Kau kan murid baru,” sahut Syam. “Kau tahu kan tentang dua siswa yang bunuh diri?” Near mengangguk. Dia ingat saat pertama kali tiba di Sekolah Hevn seminggu yang lalu, Kepala Sekolah menceritakan tentang kematian dua siswa. “Mereka itulah Ryan dan Harry. Dua sahabat yang dekat sekali. Sayang nasib mereka mengenaskan,” lanjutnya. “Denny selalu merekam semua kejadian yang ada di sekolah Hevn. Tak ada satu peristiwa pun yang luput darinya. Setelah kematian Ryan dan Harry dia memutuskan membuat film dokumenter tentang mereka berdua. Aku penasaran seperti apa hasilnya. Jadi, aku datang saja. Toh, lagi tidak ada kerjaan,” tambhanya setelah menyelesaikan sesuatu yang disebut tiket. “Mau ikut? Dia juga mengundangmu, kan?”
          
“Emm...baiklah. Sepertinya menarik.” Near menonaktifkan laptopnya.” Tapi, aku tidak punya sesuatu yang disebut tiket.”

           “Tak masalah. Aku membawanya.” Syam menggoyang-goyangkan sesuatu yang dibungkus dengan karton berwarna cokelat. “2 kaset kosong dan manisan wortel.”

           “Kaset kosong?” timpal Near bingung. “Kalau manisan wortel, aku pernah melihatnya di koperasi. Tapi kaset kosong, dimana mendapatkannya?”

           “Setiap kamis sore, jasa pengiriman selalu datang membawa persediaan bahan baku untuk sekolah ini. Biasanya kami menitip dengan mereka. Tentunya, semua akan diperiksa sebelum masuk ke asrama,” jelasnya. “Kamu tidak perlu bawa tiket. Cukup minuman untuk kita bertiga saja.”

The WitnessWhere stories live. Discover now