PDH - 14

112 38 3
                                    

Deruman motor dari luar rumah membuat Kenzin mengernyitkan alis. Diletakkan nya sisir berwarna hijau tersebut. Sreekk, Kenzin membuka gorden kamarnya. Matanya membelalak kala melihat Cakra tengah melepas helm siap turun dari motor. Cowok itu terlihat mengeluarkan ponsel. Mengklik sesuatu, meletakkan ponsel nya di telinga.

Triiinggg.. Trriinngg...

Ponsel Kenzin berdering. Gadis itu buru-buru mengambil ponselnya di atas nakas. "Halo Cakra?" Kenzin sudah meletakkan ponselnya di samping telinga.

Dibawah sana Cakra kebingungan bagaimana Kenzin bisa tau kalau dia yang menelpon? Padahal hanya dia yang baru tau nomor ponsel Kenzin, dan Kenzin belum tau nomor telpon miliknya.

"Kok lo tau ini gue?" Tanya Cakra. Kedua alisnya hampir menyatu.

Baru saja Kenzin akan menjawab pertanyaan Cakra, deruman motor kembali terdengar. Kenzin mendekat ke jendela. Disana ia mendapati seseorang yang ia kenal. Siapa lagi kalau bukan kakak kelas nya, Rezvan.

Rezvan membuka helm hitam nya, lalu menyisir rambutnya sebentar dengan jari-jari tangan sendiri. Laki-laki jangkung itu turun dari motor. Menatap tajam ke arah Cakra. "Ngapain lo disini hah?!"

"Harusnya gue yang nanya lo." Cakra tak mau kalah. Ia balik menatap tajam Rezvan tanpa rasa takut bahwa cowok di depannya adalah kakak kelas.

"Cih. Bapak sama anak gak ada beda nya." Rezvan meludah ke samping kakinya.

Tangan Cakra mengepal, "maksud lo apa hah?!"

Sedangkan Kenzin yang mendengar percakapan mereka segera berlari turun keluar rumah. Melewati tangga yang tak habisnya, dan mengabaikan Mama nya di dapur. Gadis itu tau bahwa akan terjadi baku hantam jika ia tidak segera muncul.

Kenzin berdiri di depan pagar, "WOI GA USAH RIBUT!!" Teriak Kenzin sembari menunjuk keduanya.

Cakra dan Rezvan menoleh serempak. Mereka berdua menatap Kenzin. Cakra tersenyum kepada Kenzin, "lo udah siap?"

Kenzin mengernyitkan alis. Kenapa Cakra bertanya seperti itu? Sedangkan Rezvan sudah maju menarik kerah baju Cakra. "Dia berangkat sama gue bajingan," Rezvan melepaskan cengkraman nya dengan hentakan kuat hingga Cakra mundur selangkah.

Kenzin memegang kepala nya, "ya Rob, ujian apa lagi ini?"

•••

Anna meringkuk seperti mayat hidup. Bibir gadis itu nampak pucat dan matanya bengkak. Sepanjang malam ia tak berhenti menangis. Hingga ia tertidur tepat tengah malam, saat ia terbangun pagi ini, tak ada niatnya untuk berangkat sekolah.

"Anna! Buka pintu nya, Nak!" Panggil Dwi di luar pintu kamar anak nya.

Anna mendengar suara sang ibu, namun dirinya tak mau beranjak bangun. Sudah sekian kali Dwi memanggil Anna pagi ini. Ia bingung kenapa anak gadis nya seperti ini.

FLASHBACK

"Bu!" Anna keluar dari kamar nya mencari Dwi —ibu Anna— di dapur.

Dwi yang mendengar panggilan dari Anna menyahut, "kenapa, Anna?"

Anna sampai di dekat ibu nya. Bergegas ia langsung bertanya dengan wajah sedikit panik. "Ibu pinjem uang Anna di dompet celengan Anna ya?"

Alis Dwi saling bertaut, "lho? Enggak, Anna. Kenapa emang nya?"

"Duit Anna ilang 200 ribu, Bu. Itu uang Anna untuk beli buku."

"Coba tanya Ayah. Siapa tau dia pinjem lupa bilang."

Mendengar saran dari Ibu nya, Anna segera keruang tamu dimana sang Ayah tengah menonton televisi. Anna duduk di sofa sampin Ayahnya, "Ayah pinjem uang Anna di dompet celengan Anna, ya?" Tanya Anna hati-hati.

PELANGI dan HUJAN || NA JAEMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang