~~ • Prolog : Payung Putih

582 81 72
                                    

~ Dia datang, seperti hujan yang tidak pernah aku harapkan ~

•••

Langit terlihat gelap, dengan awan hitam yang membendung menjadi atap.

Hiruk-piruk kota masih terlihat, semua orang nampak tidak khawatir akan hujan yang bisa turun kapan saja.

Seorang gadis dengan dress putih berdiri di trotoar jalan seorang diri, kepalanya mendongak memandang gumpalan awal yang terlihat suram.

"Nggak apa-apa, Cinta tunggu di depan jalan aja." Gadis bernama Cinta itu bersuara, mengakhiri panggilan telepon dengan sang bunda.

Baru beberapa menit ia berdiri, pandangannya mendadak buram, keseimbangan tubuh Cinta berkurang, pijakan kakinya terasa lemah.

Cinta jatuh tertunduk di tanah, bersamaan dengan bulir-bulir air hujan yang turun.

Pandangan Cinta kabur, ia mengusap air yang membasahi wajah. Sambil berinisiatif untuk bangkit.

"Mbak, nggak apa-apa?"

Seorang pria berseragam sekolah menengah atas berdiri di depan Cinta, mengulurkan sebelah tangannya sementara salah satu tangannya memayungi mereka berdua.

Cinta mendongak, mengucek mata lalu memastikan siapa sosok di depannya.

Dia adalah pria asing pemilik rambut hitam legam yang nampak hangat. Cinta tidak mengenalnya, tapi apakah aneh jika jantung gadis berusia 18 tahun itu berdebar kencang?

Tidak memberi jawaban, Cinta meraih uluran tangan pria itu.

"Mbak, nggak apa-apa, kan?"

Masih dengan pertanyaan yang sama. Cinta tidak menjawab, ia hanya mengangguk lemah, saat itu juga mata Cinta tertuju pada name tag pria berseragam putih abu-abu itu.

Daffa Langit Nugraha.

Cinta sangat setuju, pria itu punya nama yang sangat indah.

"Apa nama panggilannya Daffa?" batin Cinta ingin tahu.

"Mbak ngapain di sini sendirian?" tanya pria itu membuka pembicaraan lebih dulu.

Cinta menoleh, matanya bertatapan dengan pupil terang milik Daffa. Ia menatap payung berwarna putih yang senada dengan dress yang ia kenakan.

Mereka berdua masih betah berada di sebuah payung yang sama. Lebih tepatnya, karena tidak ada opsi lain ... tapi, jujur Cinta menyukainya.

"Aku nunggu jemputan Bunda. Jangan, panggil Mbak panggil Cinta aja," jawab Cinta santai.

Pupil mata Daffa melebar.

"Cinta?" tanyanya memastikan.

Cinta tersenyum lalu mengulurkan tangannya lebih dulu.

"Cintana Mentari, biasa dipanggil Cinta."

"Ahh, oke. Aku hampir salah paham, karena biasanya orang-orang bilang, kalau nama mereka 'sayang' ke aku." Daffa membalas uluran tangan Cinta, "Aku Daffa," lanjutnya.

Dugaan Cinta benar. Nama pria itu benar-benar Daffa.

"Itu tandanya banyak yang suka sama kamu, Daffa."

Daffa menatap Cinta sebentar, lalu mengusap pelipisnya canggung. "Kenyataannya emang seperti itu."

Mendengat hal itu, Cinta terkekeh. Meskipun, keadaan dan cuaca tidak mendukung. Tetapi, tawa kecil tersebut menandakan mood Cinta sedang sangat baik.

"Apakah karena dia?" batin Cinta.

"Kamu natap aku dalem banget," tegur Daffa membuyarkan lamunan Cinta.

Tertangkap basah, Cinta beruntung. Ia tidak perlu menjawab, karena bersamaan dengan itu mobil sang bunda berhenti beberapa meter melewati lokasi Cinta berdiri.

"Aku sudah dijemput, terima kasih dan sampai jumpa lagi."

Cinta berpamitan, ia berlari kecil menuju mobil bunda sambil memayungi kepala dengan kedua tangan.

Sementara, Daffa masih mematung di tempatnya berdiri dan tersenyum kecil.

Mobil putih itu beranjak, Cinta menoleh ke belakang. Menatap punggung Daffa yang berjalan membelakanginya.

"Meskipun sesaat, tapi saat itu aku merasa bahagia."

"Jika ... dia adalah alasannya."

"Lalu, apakah aku sedang jatuh cinta?"

Apa Kabar, Cinta? (COMPLETED) Where stories live. Discover now