☔. kepingan masa lalu, iii.aksa

Mulai dari awal
                                    

Ayah tertawa kecil.

"Sudahlah, lebih baik kamu gak usah hiraukan cerita ayah. Sekarang ayah gak akan ikut campur lagi, lakukan sesukamu. Ayah dan kamu itu berbeda. Ayah cuma bisa berharap kamu gak akan bernasib sama seperti ayah." Sebelum hendak meninggalkan kamar, ayah menyempatkan diri untuk menepuk pundak ku pelan.

Lantas aku hanya menatap sendu ke punggung ayah yang perlahan menghilang dari pandanganku.

Perasaan ku campur aduk. Jadi, selama ini ayah tidak bermaksud untuk mengekang ku. Beliau hanya khawatir jika seandainya masa depanku berakhir sepertinya, walaupun cara yang ia gunakan salah.



















****


















Benar seperti kata ayah, semenjak kejadian itu beliau tak pernah memaksaku ikut les lagi, dan aku mulai bisa bermain ice skating dengan leluasa. Sungguh, aku tak pernah sekalipun membayangkan hal ini akan terjadi. Rasa-rasanya aku sendiripun masih tidak menyangka, baru beberapa hari yang lalu aku merasa tertekan setengah mati, sekarang tiba-tiba rasa itu sirna begitu saja.

Aku benar-benar bersyukur karena otak bodohku ini akhirnya berguna juga. Andai saja waktu itu aku tidak terpancing dengan perkataan Aurissa, entah jadi apa aku sekarang ini, hahah.

"Sa, lo pernah jatuh cinta, gak?" Celetuk Jay memecah keheningan. Lamunanku seketika buyar, netra ku pun segera beralih menatap pada wajah Jay.

"Kenapa? Lo lagi suka sama seseorang, ya?" Tebak ku asal.

"Kayaknya, sih... Iya." Jawab Jay ragu-ragu.

Mataku sontak membulat sempurna. Aku hanya asal tebak saja, loh. Dan ternyata benar?!!

"Aneh gak sih kalau misal suka sama temen lo sendiri? Maksud gua kayak— lo udah tau tabiat buruknya kayak gimana tapi tetep aja lo masih demen sama dia." Lanjutnya lagi yang entah kenapa tiba-tiba membuat firasat buruk mulai bermunculan dalam kepalaku.

"Emang lo demen sama siapa?" Tanyaku dengan sedikit keberanian yang aku punyai. Kumohon, semoga anak perempuan yang dimaksud oleh Jay bukanlah Aurissa.

Jay memandangku heran. Lantas menyenderkan punggungnya ke tembok. "Masa lo gak tau? Cewek yang sukanya main sama kita emang siapa lagi kalau bukan 'dia'."

Aku terdiam sejenak.

Masa beneran Aurissa...??

"Lo suka sama Auris...?" Aku tahu, memang hanya ada sedikit kemungkinan Jay akan menjawab 'bukan' pada pertanyaan ku tersebut. Namun, bolehkah aku berharap barang sedikit saja Jay akan bilang bahwa ia sama sekali tak ada rasa dengannya?

Aku sendiri memang ada rasa dengannya, tapi aku sama sekali tidak ada niatan untuk mengungkapkannya pada Aurissa, hal itu hanya akan merusak pertemanan kita bertiga yang sudah terjalin lumayan lama. Begini-begini aku tidaklah se egois itu sampai lebih mementingkan percintaan ketimbang pertemanan.

Akan tetapi rasanya akan jadi tambah rumit jikalau Jay juga ikut menyukainya. Aku tidak bisa melarangnya, walaupun sebenarnya ingin.

"Pfftt-"

Ku lihat Jay sedang bersusah payah menahan tawa. Memang letak kelucuannya ada dimana coba? Aku sampai tidak habis pikir dengan bocah disampingku ini.

"Engga lah!! Mana mungkin gua suka sama Auris yang hobinya pacaran sama buku! Ogah ah, gua sukanya sama Keisha dong. Dia kan juga sukanya ikut main bareng kita-kita."

"O-ohh..." Responku kikuk. Jujur saja, dari lubuk hatiku yang terdalam aku merasa lega. Tetapi entah kenapa aku seperti melupakan sesuatu, kira-kira apa ya?

Trang!!

Kami berdua seketika terperanjat saat terdengar suara benda jatuh yang berasal dari luar. Berdasarkan dari apa yang aku dengar, kemungkinan barang yang jatuh adalah sebuah besi.

Tanpa pikir panjang, Jay langsung berdiri dari duduknya dan berniat mengecek ke asal suara. Baru saja Jay hendak berjalan ke sana, tanganku segera mencekal lengannya yang tentunya seketika membuat ia mengurungkan niatnya. Seolah-olah aku merasa akan terjadi hal gawat bila sampai Jay melihat ke sana.

"Biar gua aja, Jay." Ucapku seraya tersenyum tipis.

Perlahan namun pasti, aku mulai melangkahkan tungkai ku menuju ke luar ruangan. Kira-kira, siapa gerangan yang menjatuhkan barang tadi? Kuharap hanya binatang kecil seperti kata pamannya Jay. Paman Matthew tadi sempat berpesan sebelum berangkat pergi keluar. Kami berdua, Jay dengan aku harus hati-hati membersihkan gudang karena banyak binatang kecil yang menghuni di sini, dan kurasa mereka merasa tidak aman karena ada dua anak laki-laki bertamu dirumahnya.

Akan tetapi, alangkah terkejutnya aku ketika mendapati bahwa pelaku yang menjatuhkan barang tadi adalah Aurissa. Dan kulihat ia sendiripun sama terkejutnya sepertiku.

Ah, sebentar-

Jadi, Aurissa mendengar seluruh pembicaraan kami? Semuanya?!

"Auri-"

Belum sempat aku menyelesaikan ucapan ku, Aurissa sudah mengisyaratkan untuk diam dengan meletakkan jari telunjuknya dibibir dan mendesis pelan.

"ADA SIAPA DI SANA, SA?" Teriak Jay dari dalam, mungkin ia merasa aneh dengan ku yang hanya diam sedari tadi tanpa bersuara sedikitpun.

Aku menoleh ke dalam, lantas melirik sekilas pada Aurissa, seakan meminta persetujuan darinya. Lalu yang kudapatkan adalah gelengan dari Aurissa, dengan ini aku langsung mengerti, Aurissa tak ingin Jay tahu.

"GAK ADA APA-APA KOK, JAY. CUMA TIKUS ISENG." Sahutku. Benar-benar lihai sekali kau berbohong nya, Aksa.

Selanjutnya aku tak tahu Jay menjawab apa, tanganku sudah terlanjur digeret oleh Aurissa ke tempat lain. Kamipun berhenti di ruang tamu, dan kulihat Aurissa sedikit kelelahan menggeret ku tadi, mungkin karena badan jangkung ku yang begitu menyusahkan dibanding badan mungilnya.

Ia menjatuhkan tubuhnya begitu saja ke sofa. Sedangkan aku hanya terdiam, mengamati segala gerak-geriknya.

"Maaf, Sa. Gue dengan seenaknya geret lu kesini, tapi sumpah, tadi gue bener-bener panik dan gak bisa berpikiran jernih." Aurissa mengusap wajahnya gusar.

Aku tersenyum memaklumi. "Gak papa, gua ngerti kok. Tapi, lo kok bisa ada disini?"

Dengan raut wajah yang masih sama, Aurissa menunduk dalam. "Gue disuruh Mama buat nganterin makanan kesini. Pas gue masuk ternyata gak ada orang, jadi gue keliling-keliling dan ternyata gue malah denger hal yang samasekali gak terduga." Jawabnya lirih.

Ah, ya. Aku baru ingat alasan lainnya kenapa aku sama sekali tidak ada niatan untuk mengungkapkan perasaanku pada Aurissa.

Benar, Aurissa menyukai Jay, sedari dulu. Bahkan sebelum pertemanan kami bertiga ini terjalin.

Aku yang masih belum terlalu lama mengenal mereka ini, tentu tak ada kesempatan barang sekalipun untuk singgah di hati Aurissa.


Aksa pov: end.







—to be continued.











shade umbrella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang