Part 7 - Karyawan Biasa

Start from the beginning
                                    

Pak Gustaf menghela napas gusar. "Kamu tahukan Shopia prosedur pembelian material ke CV Mamalia harus ditransfer H-1 sebelum hari pengambilan barang? Jika tidak, PO kita tidak akan diproses. Sementara barang harus diambil hari ini agar plan produksi berjalan sesuai jadwal. Kalau begini siapa yang akan disalahkan?"

"Maaf, Pak," sesal Shopia.

"Kalau sudah begini yang akan di salahkan kami divisi produksi!" omel Pak Gustaf.

Shopia tidak dapat membela diri.

"Lagak bagian finance saat divisi produksi mengajukan permintaan dana sangat sombong. Tapi, saat terjadi kesalahan seperti sekarang orang-orang produksi yang akan terlihat salah." Pak Gustaf benar-benar marah.

"Ada apa ini?" tanya Natha.

Natha dan Pak Batara keluar dari dalam ruangan karena keributan yang terjadi.

"Begini, Pak. Shopia tidak mengajukan pembukaan dana untuk pembelian material dari CV Mamalia H-1 sebelum pengambilan barang. Padahal kemarin saya sudah mewanti-wanti Shopia," jelas Pak Gustaf.

"Maaf saya teledor," sesal Shopia.

Kenapa Shopia harus melakukan kesalah di hadapan Natha? Mendadak dia ingin menangis. Melakukan kesalahan saat bekerja tidak pernah menyenangkan walau sudah tiga tahun lebih Shopia menjadi karyawan.

"Shopia, benar begitu?" tanya Pak Batara.

"Saya yang akan handle. Saya akan hubungi pihak sana agar barang tetap bisa diambil hari ini juga," sela Natha.

"Tapi mereka selalu menolak untuk pengambilan barang dilakukan pada hari yang sama saat transfer, Pak. Barang harus dipersiapkan terlebih dahulu dari gudang mereka," jawab Pak Gustaf.

"Ada yang namanya negosasi. Kita usahakan sampai dapat." Natha berujar optimis dengan ekspresi datar.

Pak Gustaf mengangguk. "Baik, Pak."

Pak Batara melipat tangan di atas perut. "Bagaimana sih penggunaan otak kamu hari ini, Shopia? Kenapa tidak maksimal?"

Shopia semakin menunduk dalam. Dia terisak sesekali.

"Sudah jangan menangis. Ini masalah kecil. Begitu saja nangis," kata Natha angkuh sembari melangkah pergi.

Aaaaaa Shopia ingin semakin menangis mendengar kalimat julid Natha.

*******

"Siang, Pak." Jenny tersenyum kikuk. Ia berpapasan dengan Natha saat akan masuk ke dalam lift.

"Siang," balas Natha.

Dengan langkah ragu Jenny masuk ke dalam lift. Pintu lift tertutup, tujuan keduanya sama yaitu lantai satu.

"Mau makan siang?" tanya Natha.

"I-iya, Pak."

"Sendirian?" tanya Natha lagi.

Untuk sesaat Jenny diam dan berpikir. Sebenarnya dia tidak sendirian, Jenny akan menyusul Shopia dan Mia yang terlebih dahulu pergi ke warung nasi Padang langganan mereka di depan kantor.

"Saya sendirian, Pak," bohongnya.

"Saya juga sendiri. Kalau tidak keberatan kita bisa makan siang bersama, hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih karena sudah menyelamatkan saya," ajak Natha.

Jenny menahan bibirnya untuk tidak tersenyum lebar. Sedikit berbohong tidak masalah rupanya. "Iya, Pak."

"Ayo." Natha mempersilahkan Jenny untuk keluar terlebih dahulu.

Jenny berjalan dua langkah di depan Natha. Keduanya menelusuri lobi kantor dengan langkah ringan. Beberapa karyawan perempuan melirik pada Natha dengan pandangan berbinar. Pesona laki-laki itu memang kuat.

Jenny terpaku menikmati senyuman Natha. Ia merasa beruntung bisa sedekat ini dengan Natha. Jenny rela menukar apapun untuk dapat menikmati senyuman Natha yang indah.

"Pak Natha mau makan di mana?" tanya Jenny.

"Saya ikut di mana kamu mau makan."

Jenny berpikir sebentar. "Mau makan nasi padang?"

Natha tersenyum lagi. "Boleh."

Mood Jenny sangat baik karena bos tampannya. Dengan semangat Jenny membawa Natha ke rumah makan nasi Padang tempat ia janjian dengan Shopia dan Mia. Kedua temannya itu pasti terkejut melihat kehadiran Natha.

Benar saja, wajah kaget Shopia dan Mia membuat Jenny tersenyum puas. Wajah kedua temannya itu mengisyaratkan penjelasan lebih atas kehadiran Natha.

"Pak Natha nggak risih makan di rumah makan biasa ini?" tanya Mia saat Natha benar-benar mendaratkan bokongnya di sisi Jenny.

"Makan di tempat biasa seperti ini mengingatkan saya pada seseorang."

Shopia terbatuk-batuk mendengar jawaban Natha.

"Pelan-pelan, Shopia. Ini minum sianida dulu." Mia menyodorkan segelas air putih. "Jangan norak dong di depan cowok ganteng," decak Mia.

Shopia melotot sembari menerima minum yang Mia berikan. "Biasa aja."

"Maaf ya, Pak. Teman saya emang rada norak di depan cowok ganteng. Maklum kelamaan jomblo," sesal Mia.

Natha tertawa pelan. Matanya melirik pada Shopia yang juga balas menatap. Hanya sesaat keduanya bertukar pandang.

"Pak Natha pernah makan di tempat seperti ini sama siapa?" Mata Mia menyorot curiga.

"Bukan siapa-siapa. Cuma seseorang yang menganggap saya tidak penting. Jadi ingatan tentang saya dia skip." Natha teringat kata-kata Shopia.

Sementara itu perasaan Jenny jadi berkecambuk. Satu hal yang dapat Jenny simpulkan dari ucapan Natha, laki-laki itu sedang terjebak di masa lalu. Jenny takut dia tidak punya kesempatan.

"Tapi itu hanya sebatas masa lalu," tambah Natha.

Mia semakin serius mendengarkan. "Pak Natha sudah move on?"

Natha tersenyum penuh arti. "Saya menemukan seseorang yang membuat saya berdebar selain perempuan dari masa lalu itu. Lagi pula diumur saya yang sekarang bukan hal penting lagi memikirkan perasaan masa lalu."

"Siapa perempuan yang berhasil menggantikan perempuan itu, Pak?" tanya Mia penasaran.

Shopia meringis sebal. Natha sepertinya memang sengaja curhat di depan Shopia.

"Mia, gue duluan ya. Gue lupa ngerjain BBT yang diminta Pak Batara tadi pagi." Shopia tidak tahan mendengar ocehan Natha. Lebih baik dia kabur.

"Lah?" Mia bingung. Begitu juga Jenny. Hanya Natha yang terlihat santai melihat semua gerak gerik Shopia.

"Shopia," panggil Natha.

Shopia terus melangkah dan menulikan telinga.

"Shopia! Terima kasih sudah mengenalkan saya pada Jenny!" ungkap Natha dengan nada kuat.

Jenny merona.

Shopia tidak peduli. Sungguh tidak peduli.

TBC

Spam next 👉

Spam ♥️

Gimana sama part ini?

Yok buat part ini jadi 300 komen ✨️

Yok bisa yok 🙂

Udah siap sama part yg penuh intrik dan drama?

Ig : ami_rahmi98

❌ Awas ada typo ❌

Hey Stupid, I Love You!Where stories live. Discover now