BAB 9 - Patah Satu Waktu

Mulai dari awal
                                    

Mama yang langsung melepaskan rasa khawatirnya. Melihat Laskar dengan tubuh tak berdaya masih membuatnya terpukul berat. Ayah langsung memeluk lengan mama dan mengantarkannya pelan ke arah meja dokter. Ayah masih mencoba menenangkan mama yang masih tidak percaya akan kondisi Laskar saat itu.

"Romeo, kamu disini aja jaga kakak. Ayah sama mama ke meja dokter dulu ya?"

Romeo tak bisa berbuat apa-apa selain menyetujui permintaan ayah kesayangannya itu. Ia mengambil satu kursi dari samping ranjang itu. Dan masih melihat kondisi tubuh bagian bawah kakak tirinya.

"Bagaimana kondisi anak saya dok?"

Perbincangan mendalam dimulai. Antara dokter dengan orang tua yang benar-benar serius. Seolah tak ada yang menandingi. Suatu gejala serius yang ditimpa oleh seorang remaja di bawah umur.

"Mohon maaf sebelumnya pak. Mungkin suster sudah menjelaskan singkatnya bagaimana. Disini saya mau memperjelas sedikit saja."

Anggukan ayah Romeo meyakini apapun ucapan dari dokter. Tak ingin melewatkan satu kata penting pun yang terucap dari mulut orang bergelar ini.

"Jadi dia harus benar-benar diamputasi. Tulang bagian kakinya patah dan salah satu cara untuk memperbaikinya ya seperti itu. Atau kalau tidak, anak bapak dan ibu akan merasakan sakit lebih parah dari ini."

Sebenarnya hal ini bisa dimaklumi oleh siapapun. Namun kondisi saat ini tidak bisa memungkinkan bahwa Laskar bisa benar-benar menerima. Meskipun ini adalah ulahnya sendiri.

Ayah yang melihat istrinya masih terisak tangis. Masih menenangkan dengan mengelus punggungnya pelan. Masih tidak percaya bahwa anaknya nanti akan dalam kondisi tidak seutuhnya.

"Lo sama siapa kak?" Tanya Romeo masih mencari tau rekan yang bersama Laskar.

Laskar awalnya tidak merespon. Malah melihati cahaya lampu yang nampak redup di ruangan itu. Dengan baju biru khas rumah sakit. Dan badan yang ditutupi oleh selimut tebal berwarna biru lebih tua.

Romeo yang nampak kesal langsung mengerutkan wajahnya. Dia sepertinya tau bahwa tak ada respon yang dilantunkan remaja bermata sipit itu.

"Kak!" Bentaknya.

Sontak mengejutkan satu ruangan. Dokter bahkan ayah dan mamanya ikut melihat tingkah Romeo yang tak karuan. Romeo melihat kondisi dan menutup mulutnya. Rasanya benar-benar bersalah akan apa yang ia lakukan. Membuat ia malu tak berdaya harus berbuat apa.

"Lo sih, tanya aja pakai ngegas. Slow man! "

Respon Laskar malah sebaliknya. Bukan malah memikirkan kesalahannya. Ia malah mengejek Romeo akan pertanyaan yang tak ia jawab itu. Bukan sepenuhnya salah Romeo. Namun perlakuan Laskar yang iseng membuat kejadian itu berlangsung.

"Ya jawab dong mangkanya."

"Dirga, emang kenapa?"

"Oh yaudah sih, nggak apa-apa."

Laskar langsung mengalihkan pandangannya. Mencoba cuek terhadap apapun percakapan tidak penting Romeo padanya. Sambil menenangkan jiwanya di ranjang rumah sakit. Dengan bantal empuk dan suasana yang cukup tenang.

_ _ _

Langkah perempuan ini seakan tergesa-gesa dari luar ruangan. Ia tak langsung merebahkan tas beratnya. Namun menemui seseorang yang menurutnya penting untuk segera menjawab pertanyaan yang masih tertimbun dalam kepala.

"Romeo!"

Kejutnya pada Romeo yang asyik menulis di buku tugas. Romeo yang mengalihkan pandangannya seolah ketar-ketir. Kedatangan Tasya pagi-pagi membuatnya ceria. Melihat aura positif dari wajah Tasya yang tak pernah terurai dalam benaknya. Menyimpan rasa yang sampai saat ini masih ia pertahankan.

Romeo and His CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang