Bab XXXIX - Pra

66.4K 7.3K 157
                                    

Bab XXXIX - Pra

Kakiku langsung melangkah mundur ketika melihat orang yang berada di dalam lift. Meski hanya satu langkah, sepertinya dia cukup cekatan hingga bisa meraih pergelangan tanganku dan menariknya masuk. Aku sempat terhuyung dalam dekapannya sampai menyadari bahwa ini di dalam lift kantor, bukan tempat tinggalnya atau kosku.

Pelan aku menyentak tangannya yang masih mencengkram pergelangan tanganku. Nggak sakit memang tapi sepertinya dia cukup mengerti dan selalu mengerti, hingga dengan mudah melepaskan genggamannya dan berdecak singkat sambil menghadap ke depan.

"Tunggu bentar di mobil. Setengah jam." Dia bertitah.

Aku memutar bola mata. "Males." Mas Afif mendelik padaku dan mengabaikan tanggapanku ketika dia sudah sampai di lantainya kemudian keluar begitu saja.

Sejujurnya, aku benar-benar lagi nggak ada mood untuk pulang bersama. Kondisi hatiku sedang buruk dan tentunya bertambah buruk ketika aku melihat wajahnya. Bukan apa-apa, ada satu hal yang membuatku resah dari pagi dan satu hal lainnya yang selalu menggangguku setiap minggu.

Kutarik napas dalam-dalam untuk menetralkan pikiran. Aku menunggu di kedai kopi sambil menelaah apa yang terjadi kepadaku beberapa bulan terakhir.

Melelahkan.

Aku nyaris ingin menghentikan semua ini.

Bukan apa-apa. Aku benar-benar nggak tahan dalam tekanan mamanya yang terus-menerus merecokiku. Kadang dia bersikap seolah-olah perhatian. Kadang lagi dia benar-benar mengganggu weekend yang seharusnya kuhabiskan dengan bersantai-santai. Pernah dia datang ke kosku membawakan makanan, pernah juga dia datang untuk memasak, hampir dua minggu sekali aku berkunjung ke rumah mereka atau kalau tidak ... aku yang dikunjungi.

Ini benar-benar menjengkelkan. Sekalipun kadang aku merasa biasa dan maklum menghadapi tingkah mamanya ... kadang aku merasa terganggu karena aku harus mencari-cari alasan untuk berbohong. Ugh! Pernah sekali aku beralasan anemia dan nggak mengunjungi rumah mereka, malamnya orang tua Mas Afif datang bersama Bang Manik dengan dua kantong makanan penuh. Astaga! Hari itu aku bahkan meminta tolong pada Ninda untuk pura-pura mengurusi aku yang tengah sakit.

Lain lagi minggu kemarin, aku dan Mas Afif diajak belanja. Benar-benar belanja. Mamanya membelikan untuk semua orang dan itu menghabiskan jadwal kencan kami yang mau nonton film! Akibat jarang pergi berdua, quality time-ku bersama Mas Afif menjadi semakin sempit, apalagi kami nggak bisa bertegur sapa di kantor. Pak Eren juga nggak habis-habisnya mengajak dia ke manapun. Jadi, dia juga jarang di kantor dan hanya bisa mengunjungiku kalau benar-benar memiliki waktu luang.

Karena aktivitas yang mendadak padat setiap akhir minggu itu, aku jadi terlalu capek untuk melakukan apapun. Aku nggak sempat belajar untuk ujian masuk bersama BUMN yang diadakan senin lalu hingga gagal total. Pengumumannya baru diumumkan tadi pagi. Padahal, Mas Afif begitu senang mengetahui bahwa aku akan mencoba pekerjaan lain. Maksudnya, dia bisa berpacaran denganku tanpa harus ditutup-tutupi seperti sekarang. Setiap malam dia bertanya apakah ada yang perlu dia bantu untuk persiapan tes itu. Memang kesalahanku yang nggak cek jadwal hingga h-1 aku baru sadar aku akan ujian.

Kalau aku belajar, kalau aku nggak capek, kalau saja ... aku tau pengandaian nggak akan mempengaruhi apapun pada kenyataan yang telah terjadi. Sayangnya hatiku tetap terasa perih dan merasa mengecewakan semua orang. Mama dan Papa juga menyemangati saat akan tes. Sayangnya aku lagi-lagi gagal dan itu membuatku kesal setengah mati saat melihat wajah Mas Afif. Kalau saja saat weekend aku dibiarkan nggak kemanapun. Kalau saja aku nggak keliling mall hingga tepar parah malamnya dan hari berikutnya ... mungkin, mungkin saja hasil tes tulis pertama ini lebih baik.

Selaras | ✓Where stories live. Discover now