Bab XXXVII - Last Round

52.8K 7.4K 515
                                    

Bab XXXVII - Last Round

Drrt..drrt.

Suara getar ponsel membangunkanku. Aku mengerjapkan mata pelan, rasanya begitu malas untuk membuka kelopak mata. Dengan menarik napas panjang, tanganku mulai mencari keberadaan ponselku di atas kasur. Oh ya, aku baru mengingat bahwa posisi ponsel di bawah bantal. Kuraih benda kecil itu, bermaksud mematikan alarm.

Ternyata bukan alarm.

"Halo?"

Halo?

"Siapa sih ini?" Aku nggak sadar mengucapkannya, aku masih sangat mengantuk, belum sadar total. Tiba-tiba mendapati panggilan yang begitu pagi begini. Kuusap kepala dengan gusar dan segera duduk. Badanku masih terasa begitu remuk. Kenapa tidurku nggak nyenyak begini akhir-akhir ini?

"Sampai kapan kamu nanya ini siapa kalau aku telepon?"

"OH MY GOD!" Aku menggerutu, baru mengenali suara dari seberang sana. "Mas ngapain sih pagi-pagi telepon aku lagi?" Kulirik keluar jendela, "Ini belum ada matahari!"

"Kayaknya kamu udah bangun ya?" Dia terkekeh.

Aku menghentakkan kakiku. Kenapa, sih, dia selalu mengganggu pagi hariku setiap waktu? Apa dia nggak bisa bersabar sebentar sampai matahari terbit dan menyinari bumi ini baru menelepon orang lain?! Ughhh Afif rese!

"Aku tadi parkir di dekat kos kamu. Satu jam lagi kita sarapan ya?" Putusnya begitu saja. Astaga! Astaga! Astaga! Kenapa dia menjadi sangat menyebalkan setelah meminta kesempatan? Bukannya malah berbunga-bunga, aku malah kesal setengah mati.

"Kamu mau jog—"

"Nggak! Nggak! See you, Mas!" Potongku segera dan melempar ponselku. Aku ingin melanjutkan tidur selama setengah jam, sebelum menemuinya satu jam lagi. Dia seharusnya tahu kalau aku harus mempersiapkan diri dulu sebelum bertemu dengannya. Bahkan hanya untuk sekadar sarapan bersama.

Setelah beberapa menit tertidur dan kembali terbangun, aku mulai bebersih. Aku belum mandi dan memakai banyak parfum agar tetap wangi, menanti kedatangannya di gazebo di depan kos untuk sarapan bersama. Biasanya dia sudah datang dengan sekantong sarapan, entah darimana. Akhir-akhir ini, dia memang sering jogging di sekitar kosku.

"Pagi, Sayang," dengan senyuman lebar dia turun dari mobilnya. Seperti biasa, outfit-nya celana training selutut dan baju kaos biasa dengan sepatu olahraga yang begitu mencolok. Dari ekspresi yang dia tampilkan saat melihatku ... kurasa dia benar-benar puas mengerjaiku lagi pagi-pagi karena tau jam bangunnya lebih pagi dariku.

"Sayang! Sayang!" Aku merengut dan mengambil tas belanja dari tangannya, mengintip sejenak apa yang sudah dia belikan untuk sarapan kami berdua. Ternyata nasi uduk biasa.

"Mas mau makan di sini atau di meja makan?" Tanyaku pelan, melihat dia yang masih kegerahan dengan aktivitas olah raganya.

Dia membuka sepatunya. "Di sini aja. Gerah."

Aku memainkan alis untuk menunggunya selesai dengan sepatunya kemudian mencuci wajah dan tangannya di wastafel di teras. Pagi-pagi begini, suasana kos-ku sangat sepi, biasanya baru beraktivitas lewat jam tujuh pagi. Sehingga kami berbas berduaan tanpa risi dilihat orang lain begini. Paling-paling yang mengintip kebersamaan kami hanya Ninda. Namun karena akhir-akhir ini Ninda cukup sibuk, dia bangun lebih siang dari biasanya. Aku sendiri sudah menyiapkan sendok garpu untuk kami berdua serta satu botol besar air mineral karena tahu dia pasti kehausan setelah jogging.

Ini adalah kebiasaan baru yang nggak terencana. Sudah satu minggu dia bolak-balik jogging di lingkungan kos-ku setiap pagi. Alasannya agar kami bisa menikmati waktu bersama lebih panjang karena setelah di kantor ... dia nggak kubiarkan mendekat dalam jarak satu meter.

Selaras | ✓Where stories live. Discover now