Bab XXI - Kesalahpahaman

46.1K 7K 261
                                    

Bab XXI - Kesalahpahaman

"Cece juga mau pulaaaaaang!" Aku menahan Mama dengan pelukan erat saat kami sampai di Bandara. Rasanya nggak rela melepaskan orangtuaku dan hidup sendiri lagi. Bahkan, orangtuaku hanya beberapa hari di sini tapi membuatku langsung terbiasa. Tsk! Jadi anak kos memang menyebalkan.

"Cece lebay!" Kila menyindir. Jika biasanya Kila mau liburan, kali ini nggak sama sekali. Dia harus kembali ke KL untuk ujian dan presentasi. Padahal dia susah menjadi mahasiswa tingkat akhir, kenapa tugasnya makin lama makin banyak saja? Harusnya dia santai-santai dan mengerjakan skripsi.

"Ko juga Kila! Katanya mau liburan!" Aku mencibir dan ganti memeluk adikku dengan erat. Dulu badannya gempal sekali sampai aku ingin mengejeknya terus-terusan, tapi sekarang dia bahkan lebih kurus dariku dengan tinggi semampai.

"Geraaah Cece!" Kila memberontak.

Aku mengalihkan pelukan pada Papa seketika. "Papa aja gimana? Papa pindah sini aja?"

"Ngawur!"

Aku terkekeh dan melambaikan tanganku ketika jam boarding sudah terlalu dekat. Setengah hati nggak rela melihat orangtua dan adikku pergi meninggalkanku. Lama aku termenung melihat mereka menjauh, Kila bahkan sampai melambaikan tangannya dan kemudian mengibas tangan seperti mengusirku.

Rasanya masih sesak, aku memutuskan duduk di salah satu kursi, pikiranku mengingat bagaimana beberapa hari yang lalu Pak Afif menemani menjemput orangtuaku. Aku juga masih mengingat bagaimana kami saling mengungkapkan permasalahan masing-masing yang membuatku merasa makin dekat dengannya.

Pening di kepalaku telah menghilang karena menemukan obat. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkan ponsel. Kemarin, sepertinya kata-kataku terlalu kasar kepadanya. Padahal, aku nggak boleh melampiaskan amarah kepada seseorang, ini membuatku merasa menjadi manusia buruk.

Kadang, aku memang terlalu naif memandang kehidupan. Padahal, banyak gradasi di dalam hidup ini yang membuat kita bertemu dengan hal-hal tak terduga dan dengan orang-orang yang tak terduga. Orang-orang yang bertemu di satu waktu dan hanya untuk bertamu. Aku sudah memahami bagaimana konsep sementara di dalam kehidupan, tapi beberapa hari terakhir atau saat terakhir ... aku terlalu abai dan terbuai.

Hingga saat aku sadar. Ternyata aku datang untuk mengacau.

Aku nggak bisa membayangkan bagaimana berada posisi disaat aku tengah menunggu seseorang untuk menikahiku, tiba-tiba ada orang lain yang membuatnya ragu. Rasanya pasti sakit sekali, padahal selama ini ... aku setia menunggunya. Aku hanya mencoba mengerti posisi orang lain tanpa merugikan posisiku.

Dan entahlah, aku juga nggak bisa marah pada apapun dan siapapun. Nggak pada diriku sendiri atau semesta yang membuatnya rumit.

Naif.

Aku memang terlalu naif.

Tapi inilah yang membuatku bertahan selama ini. Selalu percaya pada hal-hal baik yang akan datang sekalipun aku tengah terhantam oleh ombak kehidupan. Bohong aku mengatakan aku nggak kecewa, tapi apa yang bisa kuperbuat dengan rasa kecewa yang melandaku ini?

Bahwa posisiku itu memang tak selaras dengan yang kuinginkan selama ini.

Kutarik napas dalam-dalam dan menghubungi satu nomor yang pemiliknya terus menerus ada di kepalaku seharian ini. Belum apa-apa, aku sudah merindukan dia dan segala nggak mau mengalahnya.

"Halo?"

Cepat sekali dia mengangkat?!

"Halo, Pak? Bapak masih di rumah orangtua?"

"Sudah balik, kenapa? Kamu masih marah sama saya?"

"Siapa yang marah?" Aku mengulum senyum. "Saya baru antar orangtua saya dan masih di Bandara."

Selaras | ✓Où les histoires vivent. Découvrez maintenant