Bab XX - Get Off

46.2K 6.8K 369
                                    

Bab XX - Get Off

"Kamu minum cokelat sampai ada bekasnya gini," Pak Afif mengusap pelan bibirku dengan jarinya sambil tersenyum. Ada sengatan listrik yang kurasakan saat dia melakukannya. Lama aku hanya terdiam sampai dia bergerak mundur dan tersenyum. Tanganku kiriku yang digenggamnya terasa mengendur, dia meraih tanganku yang masih ada di atas kepalanya dan menurunkannya.

Aku bisa bernapas sekarang setelah beberapa detik kehilangan akal.

"Nggak ada yang boleh nyentuh dahi saya, Rin. Kamu berani banget!" Komentarnya lagi menatapku sambil tersenyum. Dia kembali meraih tanganku dan menautkan jari-jari kami.

Mengembuskan napas dalam, aku tersenyum sambil mengalihkan pandangan ke deretan mobil-mobil di depan kami. "Saya penasaran."

"Penasaran apa?"

"Nggak apa-apa," elakku.

Genggamannya menarik tanganku hingga badanku membentur lengannya. Secepat kilat, jemariku yang digenggam kembali terlepas. Dia menyelipkan tangannya di balik punggung dan memeluk bahuku. Aku meringis sambil mengulum bibir.

"Seharusnya saya lebih sering bikin kamu penasaran ya?" Dia menoleh padaku sambil menyipitkan mata. "Biar saya tinggal eksekusi, Rin."

"Maksudnya?"

Pak Afif tersenyum. "Kalau saya melakukan hal-hal yang kurang kamu sukai atau bikin kamu nggak nyaman, kamu tinggal bilang, Rin. Harap maklum karena ... saya udah delapan tahun sendirian."

Aku menatapnya tak percaya, bukan karena fakta bahwa dia sudah lama sendirian tapi karena ucapannya terdengar begitu tulus dan jujur.

"Tapi ... saya nggak akan melakukan sesuatu tanpa izin kamu."

Mendengar kata-katanya yang teduh, aku semakin merona. Orang seperti apa yang sebenarnya ada di sampingku? Di satu sisi, aku bisa melihat kilat jahil dari matanya, tapi ... dia bisa mengeluarkan kata-kata yang bisa membuatku percaya untuk bisa menyerahkan hatiku.

"Tapi Bapak suka cium-cium cewek tanpa hubungan."

"Anggap saja itu masa lalu yang terpaksa kamu maklumi," Pak Afif terkekeh. "Saya nggak mungkin nggak punya sisi kesepian, Rin dan kadang sisi kesepian itu bikin saya agak kehilangan kendali. Tapi tenang aja, saya nggak mungkin melakukan yang merugikan."

Aku meringis mendengarnya. "Pembelaan!"

Dia tertawa ringan yang mungkin akan selalu kurindukan. Dalam perjalanan pulang itu ... aku merasa dia bukan lagi Pak Afif yang menjadi atasanku di kantor tapi seseorang yang begitu dekat denganku. Aku nggak malu untuk sekadar bersandar atau bercanda dengannya, seolah kami sudah saling mengenal begitu lama.

"Salam buat Mama dan Papa kamu. Saya nggak bisa mampir karena harus ke rumah orangtua saya," ucap Pak Afif menatapku dalam sebelum keluar dari mobilnya.

Rasanya, aku ingin memintanya untuk memperpanjang jarak antara kantor dan kos atau memintanya memilih jalan memutar. Hanya saja, pikiran yang baru saja tercetus itu terlalu nggak masuk akal disaat keluargaku tengah menungguku.

"Makasih, Pak."

"Pak! Pak!" Pak Afif mencibir.

"Udah kebiasaan. Gimana dong?"

Pak Afif menggelengkan singkat kepalanya dan mengusap pipiku. "Tahu nggak, Rin? Pipi kamu selalu memerah kalau lagi ngobrol sama saya!"

"Pede banget sih! Ini karena panas tahu!" Aku menyingkirkan jari-jarinya agak kasar karena merasa malu sekali. Pak Afif terbahak.

"Memangnya saya ngomong apa? Saya barusan ngasih tahu kamu kalau pipi kamu memerah kalau lagi ngobrol sama saya!"

"Ya itu karena panas, bukan karena Bapak!"

Selaras | ✓Where stories live. Discover now