Bab XVIII - Time Between Us

52K 7.7K 423
                                    

Bab XVIII - Time Between Us

"Kamu nggak mau berkomentar apapun? Udah lima jam loh, Rin."

Kulirik Pak Afif yang ada di sampingku. Ia tampak sedang melirik jam tangannya. Ah sebodo lah! Aku memang dalam mode diam total kepadanya. Setelah dia mengungkapkan terang-terangan bahwa dia sedang mendekatiku-dan aku nggak bisa berkata satupun, aku lebih banyak diam sampai kami ada di site museum, kemudian ke kantor mengambil tasku dan berakhir di parkir Terminal 3 ini.

Benar! Pak Afif nggak mau pergi padahal aku bukan lagi memintanya untuk pulang tapi sudah mengusir. Dengan keras kepala dia tetap bertahan dan mengatakan akan menungguiku sampai orangtuaku setidaknya sampai pesawat yang membawa orangtuaku mendarat.

Tingkahnya itu yang sebenarnya membuat perasaan jengkel yang kurasakan sejak berada di kost menjadi berkali-kali lipat. Dia benar-benar laki-laki yang nggak konsisten yang pernah kutemui! Satu hari dia mengatakan bahwa dia menganggapku adik, kemudian dia mengatakan gawat bisa benar-benar sayang kepadaku karena dia sedang memikul beban harapan Pak Eren dan Kak Mina. Namun setelahnya ... hari ini dia mengatakan bahwa dia sedang mendekatiku.

Mungkin kejadian ini makna ucapan umur tak menentukan kedewasaan! Aku benar-benar nggak habis pikir.

Bukannya malah senang ... aku malah semakin gondok padanya.

"Bapak pulang aja," aku membuka suara lagi. "Saya nggak mau ngerepotin Bapak lebih lama."

"Saya nggak merasa direpotin, sih," balasnya santai.

Aku memutar bola mata dengan malas. Sudahlah! Nggak ada gunanya aku membuka suara. "Yaudah. Kenapa minta komentar saya? Pendapat saya, kan, nggak di dengar juga!" Meskipun aku berusaha mengungkapkannya di nada paling rendah, tetap saja kedengarannya ketus dan pedas. Kuharap dia benar-benar tersinggung agar nggak menggangguku lagi.

Pak Afif yang tengah melirik jam tangannya-sepertinya mengecek pesan masuk, mengangkat wajah. Aku menelan ludah merasakan tatapan menusuknya. Kualihkan pandangan mata ke deretan mobil-mobil yang terparkir di sebelah mobil ini. Aku nggak pernah berada di parkir Bandara seperti ini, paling-paling cuma drop off. Hari ini aku menyadari bahwa ternyata parkir bandara pun bisa penuh, kami memutuskan parkir di area luar dari pada di dalam gedung karena cuaca yang nggak terlalu panas.

Aku mengunci bibir agar nggak mengungkapkan hal-hal yang nggak kuinginkan lagi. Dia benar-benar membuatku kaget berkali-kali hari ini dan tentunya nggak tahu harus menjawab apa. Aku nggak bisa berpikir dan juga sedang malas memikirkannya.

"Pesawatnya landing setengah jam lagi, kan? Tambah waktu pengambilan bagasi ... kira-kira satu jam lagi saya disini."

Embusan napas kasar keluar dari mulutku, sebagai tanggapan yang kurang sopan agar dia tahu bahwa dia nggak bisa seenaknya sendiri. Ini bukan lagi urusan kantor, ini tentang waktuku yang ingin menunggu kedatangan orangtuaku, dia nggak berhak sama sekali mengatur-atur.

Ada satu pikiran bahwa aku bisa saja meninggalkannya begitu saja. Tapi aku tetap merasa nggak sopan setelah dia banyak membantuku seharian ini. Padahal, aku nggak mau merepotkan dia sejauh ini, tapi dia memutuskan sendiri begitu saja.

Orang-orang yang nggak mendengar pendapat orang lain itu sangat menyebalkan, mereka hanya bisa mendengar suara mereka sendiri sekalipun mata mereka melihat bahwa ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Pak Afif bagian dari orang-orang itu hari ini. Dan, aku begitu kesal.

"Kamu mau saya balik sekarang?" Tanyanya dengan suara yang begitu menjengkelkan. Suara rendah dan terdengar kecewa yang bisa terdengar di telingaku begitu jelas. Aku hanya bertahan dengan bersedekap tangan di dada, pandanganku masih nggak mau teralih dari arah samping kiri.

Selaras | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang