Bab VII - Pertanyaan Langsung

53.4K 7.4K 211
                                    

Bab VII - Pertanyaan Langsung

Aku membuka aplikasi LinkedIn saat mengetahui bahwa ada satu pemberitahuan masuk karena Pak Afif pagi ini membagikan satu post tentang gempa dan pentingnya membangun infrastruktur tahan gempa di platform tersebut. Jariku bergerak untuk membuka profilnya spontan dan memperhatikan bagaimana senyum lebarnya tampak semakin menawan di foto profil. Padahal foto profil itu adalah foto yang sama dari dua tahun yang lalu.

Menyebalkan. Betapa menyebalkannya karena aku merasa dia semakin memesona dari hari ke hari, sedangkan aku tahu betul bahwa kemungkinan besar perasaan ini berkembang sangat sedikit.

Aku mengunci layar ponselku dan mengetuk sisi atas ponsel ke jidatku. Posisiku sudah berada di depan pintu Busway ini karena halte berikutnya adalah ke halte di depan kantor.

Aku menarik napas panjang. Artinya, aku akan segera bertemu dengannya. Aku sengaja datang siang hari ini untuk menghindari kemungkinan bertemu dengannya pagi-pagi.

Kenapa aku jadi gugup, sih?

Wajar! Gara-gara ulah Ninda kemarin, wajahku sudah tidak ada lagi untuk berhadapan dengannya. Untung saja, pasca pertanyaan memalukan itu, Pak Afif tak menanggapi dengan berarti dan mengalihkan pembicaraan pada profesi Ninda. Aku tidak sanggup bertemu dengannya hari ini. Aku benar-benar malu!

Ninda kali ini benar-benar keterlaluan!

Tetapi dia hanya bermaksud membantuku untuk mengetahui kehidupan pribadi Pak Afif—dia baru menjelaskan ketika aku ngambek semalaman padanya. Ninda memang nggak segan menegurku kalau aku sudah bersikap menyebalkan, begitu pula sebaliknya. Persahabatan yang telah terjalin bertahun-tahun membuat kami satu sama lain nggak keberatan mempermalukan ataupun mengingatkan satu sama lain.

Hanya saja, aku bukan seseorang yang mampu menganggap semuanya baik-baik saja setelah dia membuatku malu seperti kemarin! Aku masih akan bertemu Pak Afif keesokan harinya! Sekalipun Pak Afif seperti pura-pura tak menanggapi, aku tetap saja malu berhadapan dengannya.

Aku menghentakkan kaki kesal.

"Kesetnya salah apa, sih, sampai diinjak dengan dendam begitu?"

Aku terperanjat kaget mendengar suara yang kukenali itu. Aku bahkan nggak menyadari bahwa aku sudah otomatis keluar dari Busway, menyeberang kemudian masuk lingkungan kantor saking sibuknya melamun dan menyalahkan Ninda.

Berharap orang di belakangku bukan Pak Afif, tapi aku sudah terlalu mengenal suaranya. Dengan berat hati, aku menoleh ke belakang dan mendapati Pak Afif sudah ada di belakangku.

Aku spontan mengangkat tangan kiri untuk melihat jam tangan. Pukul sembilan! Tumben sekali dia datang siang?

"Ada yang nempel tadi di sepatu saya," aku berkilah dengan gugup dan kembali menghentakkan sepatu dengan keras di depannya. Pak Afif hanya menggeleng kepala pelan menanggapi tingkahku dan melewatiku begitu saja.

Wajahku memanas seketika, mataku lurus menatap punggungnya yang berjalan dengan tenang. Ia berhenti sejenak untuk menunggu lift.

Aku menimbang-nimbang, kalau aku beranjak sekarang ... kemungkinan besar aku akan berada di satu lift dengannya.

Tidak! Tidak! Aku masih sangat canggung!

Menemukan ide lain, aku segera membalikkan badan dan berjalan menuju coffee shop yang jam segini baru buka. Coffee shop ini masih berada di kompleks ruko yang sama dengan kantorku.

Lebih baik aku membeli kopi saja sampai Pak Afif masuk ke ruangannya. Sungguh aku benar-benar nggak siap berhadapan dengannya.

Lain kali ... aku harus training mulut Ninda dahulu agar tidak terlalu membuatku malu di depan orang lain!

Selaras | ✓Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt