Bab XIX - Fall

50.6K 7.3K 618
                                    

Udah siap belum baca part ini?

Bab XIX - Fall

"Afif nggak sarapan di sini, Ce?"

Aku yang tengah menikmati menyantap sarapan pagi nasi goreng dari tangan Mama spontan membelalak. Sepertinya ada yang salah dari pertanyaan Mama atau aku salah mendengar karena terlalu menikmati makanan? Hanya karena Pak Afif mengantar kami ke kost-ku, ikut makan malam dan menemani Papa mengobrol dua jam ... tidak mungkin Mama mengira aku dan Pak Afif tengah menjalani hubungan spesial, kan?

Aku semakin gila sepertinya. Rasanya semalam seperti mimpi. Ada seorang laki-laki yang mengobrol dengan Papa bahkan statusnya belum menjadi pacarku. Mungkin kalau dia sahabatku atau temanku, aku nggak akan merasa terganggu. Tapi ... ini Pak Afif, laki-laki yang bisa mencuri hatiku begitu saja. Pertahananku luluh lantak, harapanku melambung tinggi. Aku benar-benar akan membencinya apabila semua ini kamuflase.

Tapi, ada satu perasaan lain yang menyelinap. Perasaan hangat. Bukan sensasi cemas namun sarat akan kesenangan. Seperti bunga-bunga bermekaran di dalam hatiku dan ... itu membuatku tersenyum sepanjang malam.

Ini benar-benar membingungkan.

"Ngapain dia sarapan di sini?!" Jawabku setelah hanya bersitatap dengan Mama selama beberapa detik.

Mama mengangkat bahu. "Siapa tahu kalian berangkat bareng."

Aku segera menggeleng. "ih! Mama! Pak Afif itu bos aku! Nggak ada hubungan spesial!"

"Bohong banget, Ma!" Ninda menyela. Aku menatapnya dengan menyipitkan mata, mengancam agar dia nggak mengatakan hal aneh-aneh di depan orangtuaku. Padahal di hari biasa dia bangun mepet jam pergi kantornya, sekarang bisa-bisanya dia sarapan dengan cantik di meja makan ini!

"Apa sih, Ninda!" Aku memelototinya karena mendapati ekspresi menjengkelkan dari wajahnya. Aku benar-benar sudah curiga dia bakalan membocorkan hal aneh-aneh pagi ini.

"Mana ada bos sama staf pulang bareng? Jemput orangtua stafnya di Bandara? Yakali!"

"Kebetulan."

"Kebetulan?" Ninda memainkan alisnya. "Gimana, Ma? Pa? Oke, nggak kalau Pak Afif sama Cece?"

"Oke-oke aja, yang penting Sherina suka," jawab Mama santai.

"Aku nggak suka dia!"

"Masa?????!"

Ninda masih terus memojokkanku. Tadi malam, aku masih ingat ekspresinya yang melongo dan tak bisa melakukan apapun saat melihat Pak Afif membantu membawakan koper orangtuaku dan ikut makan malam bersama kami. Aku memang meminta tolong kepada Ninda untuk membeli makanan agar Mama dan Papa bisa langsung makan malam setelah perjalanan panjang.

"Ko jadian sama dia?" Selesai makan malam, Ninda menginterogasi saat aku tengah mencuci piring.

"Rumit, Nin!"

"Apanya yang rumit? Ko jemput orangtuamu sama dia! Katanya mau move on! Ihh! Batu banget! Aku nggak bantu lagi kalau ko nangis-nangis karena patah hati ya!"

Wajahku langsung memerah melihat Ninda terbahak mendapati aku yang tak bisa berkutik. Kuabaikan tawa kemenangannya dengan melanjutkan makan karena Mama dan Papa juga nggak melanjutkan topik itu. Sekalipun aku dan orangtuaku sangat terbuka, aku belum pernah membicarakan perasaanku pada Pak Afif.

Entah kenapa aku hanya ingin menyembunyikannya, kepada Ninda sekalipun. Tetap ada sesuatu yang membuatku ragu, entah apa. Aku belum yakin Pak Afif benar-benar ingin bersamaku, aku belum yakin bahwa perasaanku pada Pak Afif sudah melewati batas harus memiliki. Aku juga nggak tahu apakah aku bisa melewati kesulitan yang Pak Afif ucapkan kemarin.

Selaras | ✓जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें