Bab XVII - Dekat

50K 8.2K 667
                                    

Bab XVII - Dekat

"Cece, penerbangan Mama sama Papa nanti sore ya."

Pemberitahuan Mama membuatku menghentikan ketikan di atas keyboard. Ke Jakarta? Kenapa? Mataku langsung menelusuri tanggalan dan menemukan bahwa ada acara pernikahan sepupuku yang akan berlangsung lusa.

"Mama berangkat ke Jakarta?"

"Iya."

"Ngapain?!" Suaraku sedikit lebih keras, menyebabkan beberapa orang langsung melirik ke arahku. Suasana ruangan memang lagi sepi, hanya ada beberapa orang yang tersisa di ruangan ini karena tim Pak Bagas sudah kabur dari jam sebelas tadi untuk makan siang di luar.

Aku memelankan suara saat Pak Afif yang tengah berada di kubikel Kak Nela berdeham. Dia memang sedang melanjutkan pekerjaan Kak Nela karena si pemilik kubikel sedang pergi bersama Mas Bary dan Joe membeli kopi untuk kami semua, atas permintaanya.

"Kila juga udah beli tiket dari KL."

"Hah?!" Aku lagi-lagi melongo. "Kenapa pada liburan begini?"

Mama di seberang sana berdecak. "Kok Cece bisa lupa? Nikahan Varrel itu lusa. Tante Marla udah gembar-gembor di grup keluarga kalau harus datang formasi lengkap."

"Cece pikir itu di ..."

"Ya, di rumah keluarga calonnya Varrel. Di Bogor."

Aku mengusap kening. Kupikir pernikahan Bang Varrel akan diadakan di rumahnya di Batam. Aku lupa bahwa acara inti akan diadakan di kediaman mempelai wanita. Karena tahu bahwa aku nggak akan berangkat, aku jadi lupa tanggal pernikahannya.

"Kenapa Mama nggak bilang?"

"Siapa yang nggak angkat-angkat telepon?" Balas Mama terdengar marah.

Aku merapikan anak-anak rambut yang berjatuhan di keningku. "Iya. Maaf, Ma. Habisnya kalau udah pulang, aku langsung tidur." Aku terkekeh pelan sebelum teringat sesuatu. "Trus ... nginap di mana? Di hotel?"

"Kalau dari tempat Cece jauh ya?"

"Lumayan, Ma."

"Kata Papa di tempat Cece aja. Kan, luas."

Aku terbelalak. "Ih! Mana muat berempat, Ma? Kasurnya bukan king size tapi queen size. Kila kapan berangkat?"

"Besok pagi."

Aku menggaruk alis. Luas kos-ku memang masih muat menampung empat orang, tapi masalahnya ukuran kasurku nggak bisa menampung empat orang. Apa aku mengungsi di kamar Ninda saja?

Ah, tapi jarang-jarang kami berkumpul berempat seperti ini di Jakarta. Aku jelas nggak mau kehilangan momen kebersamaan keluarga. Sebagai anak kos yang haus akan suasana rumah, aku tentu menantikan suasana kumpul bersama ini. Lagipula, mengganggu Ninda berhari-hari meskipun dia nggak keberatan pasti akan terasa aneh. Aku bahkan curiga dia ikut menimbrung setiap malam di tengah-tengah keluargaku karena ingin mengobrol dengan mama.

"Kamu nggak angkat-angkat telepon, jadinya Mama sama Papa cari tiket sendiri di travel," Mama masih menceramahi.

"Iya. Namanya juga lupa, Ma," aku tersenyum lebar. "Yaudah, aku beli kasur lipat aja. Bisa dipakai juga kalau Kila tiba-tiba mau liburan di sini."

"Boleh."

Anteng banget mamaku hari ini?!

"Trus, Ce. Kata Ninda ... Cece udah punya pacar. Kamu nggak ada niat buat ngenalin ke Mama? Ketemu ya?"

Belum bisa mengendalikan diri karena berita keluargaku akan ke Jakarta, aku harus shock lagi karena berita kedua. Mataku spontan membelalak. Apa-apaan?! Kenapa Ninda bisa membuat fitnah seperti itu? "Sejak kapan Cece punya pac—" ucapanku tertahan ketika pandanganku dan pandangan Pak Afif bertemu, dia tampaknya tengah memikirkan sesuatu karena ekspresinya serius sekali.

Selaras | ✓Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt