Bab XXVI - Can't Help Falling

50.3K 7.5K 429
                                    

Bab XXVI - Can't Help Falling

"Rin, tolong nasi."

"Rin, tolong ayamnya, dong."

"Rin, tolong sambel."

"Sherina, tolong—"

Arrgggghhhhhhhh!

Udara di sekitarku kuhirup dengan rakus dan mengembuskannya kesal. Ini benar-benar membuat geram! Apa salahnya dia melihat sendiri di atas meja daripada menyuruh-nyuruhku?! Memangnya meja ini sebesar apa sampai dia nggak melihat semua menu yang dia butuhkan?!

"Enak banget itu mulut suruh-suruh Sherin!" Mbak Seira udah nggak bisa nggak protes. Dia juga akhirnya sibuk mencari apapun keinginan Pak Afif karena menu yang dia butuhkan itu rata-rata ada di depan Pak Kelvin dan Kak Mina.

"Makanya bawa staf, Seir. Jangan bawa suami!" Sindir Pak Afif setengah bercanda saat Mbak Seira menyodorkan sambal matah kepadanya.

"Jangan lupa lo staf gue juga!" Tutur Pak Kelvin kalem dan melirik ke arahku.

"Oh, ya. Maaf, Pak." Dia pura-pura sungkan.

"Rin, tolong tisu."

Berdesis malas, aku menyodorkan tisu yang ada di depanku kepadanya. "Ini di depan Bapak, loh!" Aku pun sudah nggak sanggup nggak protes. Sudahlah. Biarkan saja Pak Kelvin dan Mbak Seira berpikir macam-macam. Sikap Pak Afif pagi ini benar-benar membuatku berkali-kali menghela napas geram.

"Nah, begitu. Kedengaran suaranya. Diam banget dari tadi? Biasanya paling berisik di ruangan bareng Nela dan Tina."

Aku memutar bola mata karena malas menanggapi. Sungguh, aku lagi nggak mau berbicara dengan Pak Afif, malas di interupsi. Dari pagi, Kak Mina tampak nggak mau lepas dari Pak Afif. Dia berusaha terus-terusan mengajak Pak Afif berbicara sedang beberapa pertanyaan yang kuajukan pada Pak Afif belum sempat dijawab. Dia seperti nggak memberikanku celah dengan terus mendominasi Pak Afif untuk mengobrol berdua. Astaga! Membuatku keheranan sendiri dan ingin berteriak di depan wajahnya bahwa aku nggak akan mengambil apapun di dalam hidupnya. Jadi nggak usah khawatir berlebihan!

"Fif! Gimana kalau sore ini kita pergi ke—"

Tuh, kan? Dia seharusnya nggak berbicara denganku.

"Mau ikut nggak?" Pak Afif membalikkan badan dan menatapku.

Aku mengangkat sebelah alis, benar-benar nggak mendengar percakapannya dengan Kak Mina barusan. Apapun itu ... aku tidak ingin bergabung dengan mereka. Aku langsung menggeleng. Sudah kuputuskan untuk nggak mau kemana-mana dan aku hanya ingin segera pulang ke Jakarta.

Agenda hari ini memang survei lokasi resor saja. Besok seharian, baru meeting dengan dinas daerah. Jadi hari ini, setelah survei ... kami cukup bebas untuk sekadar berjalan-jalan.

Pak Kelvin mulai membahas lahan dan bangunan yang menjadi lokasi pembangunan. Sekitar tiga tahun lalu, lahan dan bangunan itu menimbulkan konflik antara pemilik dan investor. Bagaimanapun, bangunan di Bali memiliki aturan tersendiri untuk menjaga kelestarian lingkungan. Sayangnya pengelola nggak mengindahkan itu sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan.

Aku menyimak pembicaraan seru antara Pak Kelvin, Pak Afif dan Kak Mina yang membahas konflik lahan yang terjadi di beberapa proyek mereka. Mbak Seira juga menanggapi sesekali namun lebih banyak dia memeriksa ponselnya.

Di tengah percakapan itu, Pak Afif tiba-tiba menoleh padaku. Kemudian, dia melirik ke arah piringku. "Nggak habis?" tanyanya heran.

Aku yang memang sedang bermalas-malasan makan hanya tersenyum tipis padanya. Dan jawaban itu membuatnya mengerti. Aku mengembuskan napas lega saat laki-laki itu kembali menimbrung percakapan Pak Kelvin dan Kak Mina. Namun, tangannya dengan sengaja mencomot ayam yang masih sisa setengah di piringku.

Selaras | ✓Where stories live. Discover now