Bab XXX - Hal yang Berat

44.7K 7.1K 667
                                    

Bab XXX - Hal yang Berat

Dadaku rasanya sesak sekali. Kepalaku pusing merasakan segala kerumitan dalam diri ini. Nggak ada satu pun yang sinkron, baik pikiran maupun hati. Aku ingin menangis. Sayangnya nggak satu tetes pun air mata yang bisa mengalir. Padahal, aku cuma mau menangis atau segala sesuatu yang sekiranya bisa membuat rasa terhimpit di hatiku menjadi lebih lega.

Sejujurnya, aku masih terlalu kaget dengan apa yang terjadi. Rasanya satu tahun menganggur jauh lebih cepat dari fase yang kuhadapi beberapa bulan terakhir. Hariku juga terasa jauh lebih panjang dan ... aku nggak pernah menyangka akan ada di titik rumit begini. Hidup ini benar-benar penuh kejutan sampai aku sendiri nggak tahu mana yang harus dibawa santai atau panik.

Ninda nggak banyak bertanya saat aku pulang. Kami bertemu di gerbang dalam keadaan aku tengah berjalan lunglai sedangkan dia diantar oleh Bang Rino. Ketika dia menyapaku dan aku mengabaikannya, Ninda tahu bahwa aku sedang nggak baik-baik aja. Dia hanya diam dan menanyakan apakah aku ingin makan atau nggak karena pintu kamar kukunci rapat-rapat dan lampu juga kumatikan.

Semalam kupikir ... kegelapan bisa membantuku meredakan rasa sesak. Nyatanya, seperti lobang yang tersumbat, semua ini membuatku nggak nyaman melakukan apapun.

Aku hanya perlu bersedih. Seharusnya.

Alih-alih bersedih, aku merasa semua ini seperti mimpi. Bahkan, aku belum bisa bangun dan masih menganggap semua ini nggak nyata. Nggak mungkin hal-hal nggak masuk akal ini terjadi dalam hidupku. Nggak mungkin!

Nggak mungkin Pak Afif nggak tahu apapun soal SP dan masih mengajakku berkencan. Nggak mungkin dia nggak mengetahui bahwa ada kemungkinan aku akan dipindah tapi dia masih tetap mengakui aku sebagai pacarnya. Dua sikapnya itu terlalu bertentangan, membuatku kebingungan yang mana yang sebenarnya. Apa yang sebenarnya dia rasakan? Apakah dia hanya mempermainkanku?

Sungguh ini begitu keterlaluan.

Aku nggak bisa tidur sampai pagi. Nggak bisa juga menangis. Hal yang kulakukan hanya termenung dan menatap langit-langit kamar yang gelap. Aku nggak menyalakan lampu tidur, penerangan hanya berasal dari lampu di luar kamarku. Dalam kondisi gelap, aku masih bisa menyimpulkan bahwa langit-langit kamar jauh lebih jelas dan terang dibanding jalan hidupku selanjutnya.

Mama meneleponku tiba-tiba. Tumben sekali mama menelepon saat pagi hari begini. Bukan apa-apa, waktu pagi sangat sempit dan mama biasanya juga lebih sibuk di pagi hari. Firasatku, mungkin saja bentuk adalah feeling ibu yang tahu anaknya nggak baik-baik saja.

Aku mengembuskan napas lama sebelum mengangkat panggilan itu. Semoga aku nggak terdengar lagi banyak pikiran. "Halo, Ma?"

"Pagi, Sayang."

Aku tersenyum getir. "Pagi, Mama."

"Ce, Mama tuh lupa kasih tahu kamu kemarin Mama kirimin Cece baju. Mama lihat di Instagram kayaknya setelannya cocok buat Cece pergi kerja. Udah diterima belum?"

Hatiku rasanya tertohok mendengar penuturan Mama. Tanganku mengepal kuat. Perasaan dari kemarin aku mati rasa, tapi satu kalimat dari mama berhasil membuat tembok tebal yang menutupi hatiku runtuh.

Aku tergemap. "U..udah, Ma. Semalam Cece ambil. Tapi belum Cece cuci bajunya." Aku belum melihat setelan yang mama berikan padaku.

"Yah.. padahal Mama mau dikirim foto Cece kalau mau ke kantor baju itu. Biar Cece semangat kerjanya. Kan, udah ngerasain kerja kantoran."

Ucapan Mama membuat air mataku luruh tanpa bisa dicegah. Mama nggak akan tahu apa yang sedang terjadi dalam kehidupan baruku yang kacau. Bukan hanya kacau tapi sudah berantakan. Rasanya nggak tega memberitahu mama kalau aku sempat memikirkan resign dari kemarin.

Selaras | ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora