Bab XXXVI - Bicara

49.9K 7.3K 376
                                    

Bab XXXVI - Bicara

"Kamu lapar, nggak?"

"Nggak."

Kenyataannya aku memang sedang nggak lapar, bukan karena sedang sinis dengannya. Aku menatap Pak Afif yang menarik napas panjang dan berusaha untuk tetap tersenyum padaku meskipun aku selalu mengalihkan pandangan. Mataku lebih sibuk mengamati proyek pembangunan yang sedang berjalan.

"Kalau kamu nggak lapar, tunggu sebentar bisa? Saya mau makan di nasi padang depan sana," Pak Afif menunjuk deretan ruko di depan lokasi proyek. Di sana memang ada berbagai macam warung makan, mulai dari warteg, nasi padang, gudeg jogja dan lain-lain. Dia buru-buru mengeluarkan kunci mobil dan menyerahkan padaku, "Kamu tunggu di mobil aja ya? Saya udah lemas banget ini karena belum makan dari semalam."

Melihat belum ada tanggapan dariku, dia kembali menambahkan. "Nggak lama. Paling cuma sepuluh menit."

Aku mengangguk singkat dan berpisah dengannya. Masuk ke dalam mobilnya, aku segera menyalakan AC dan memundurkan sandaran kursi. Nggak ada yang kulakukan selain scroll sosial media. Lima menit kemudian, aku langsung kebosanan.

Kupejamkan mata kuat-kuat, aku tahu sikapku pada Pak Afif berlebihan. Entah hanya karena nggak mau disangka terlalu menyukainya atau memang aku yang enggan memaafkannya saat ini, yang aku tahu aku hanya nggak bisa ujug-ujug bersikap baik dengannya. Walaupun aku nggak lagi membencinya tetap saja ... aku belum yakin akan semua ini.

Pak Afif menepati janjinya, dia datang dalam waktu lima belas menit. Cepat sekali makannya? Sampai di dalam mobilnya dia memainkan kerah bajunya. "Panas ya! Keluhnya!" Melirikku sekilas dengan keringat sudah ada di wajahnya.

Aku hanya bisa mengamatinya dalam diam, nggak berminat sama sekali memalingkan wajah. Jika sepanjang perjalanan aku lebih suka menatap apapun selain dia, sekarang aku ingin memandangnya. Dia mengernyitkan dahi, kemudian senyum kecil terlihat di bibirnya. Aku menahan diri untuk nggak ikut tersenyum.

"Ada apa?"

Aku mengerjap. "Hm."

Pak Afif menarik napas panjang. Ekspresinya tampak sedikit ragu, seolah-olah ada yang sedang dia sembunyikan. Aku bersabar menunggu tindakan selanjutnya tanpa mengatakan apapun. Mungkin, dia juga butuh persiapan diri karena akan mengajakku mengobrol.

"Kamu mau ... balik ke kantor atau kos?" tanyanya pelan.

"Saya mau pulang," aku berdeham, "Bapak kalau mau ngomong, ngomong sekarang aja."

Pak Afif mengangguk, tangannya terulur membuka dahsboard dan memberikan satu map padaku. "Lihat ini dulu, Rin," pintanya. Aku mengatur sandaran kursi dan membuka map berwarna hijau itu. Kubuka dan kubaca isinya perlahan.

"Itu ... evaluasi probation kamu dari saya ... yang asli." Pak Afif mendekat padaku, "Ini ... ada tanggalnya dan nggak ada sedikitpun saya ubah atau manipulasi. Lagipula, sistemnya real time, sama seperti absen kita."

Aku mengerjap perlahan, membaca penilaian Pak Afif dengan seksama juga membaca keterangan dibawahnya terdapat kata-kata : menjalani probation dengan baik, rekomendasi bulan ketiga gaji disesuaikan dengan tingkat pendidikan terakhir.

"Itu saya kasih ke Mina karena nggak sempat ketemu Bu Yildis. My bad ... saya nggak tahu bakalan jadi rumit setelahnya. Kesalahan saya juga karena malas buka sistem kantor selama ini, jadi ini memang kesalahan dari saya."

Aku hanya membisu mendengar penjelasannya.

"Saya nggak mau nuduh Mina tapi saya nggak mau klarifikasi. Siapapun yang bikin ini, saya udah memutuskan untuk menggunakan ini buat pindah ke Kelvin. Kamu juga tahu selama ini saya berdiri di dua tempat. Pertama bersama Pak Eren, disatu sisi saya tahu Kelvin kesusahan nggak ada Seira. Tahun lalu, Kelvin pernah minta baik-baik buat menarik saya ke ke Om Eren. Tapi seperti yang kamu tahu, Pak Eren bilang nggak bisa karena saya sudah dipersiapkan untuk menggantikan beliau bersama Pak Bagas dan juga ... menjadi suami Mina." Pak Afif mengambil jeda sejenak, "Saya udah menolak rencana kedua, bukan karena Mina nggak baik tapi karena desire saya nggak ada buat dia. Selain itu, masalah Windy dan Tara selama ini bikin saya nggak mau memikirkan pasangan dulu. Bagi saya, nggak masalah saya nggak punya pasangan. Saya bisa jadi Papanya Tara. Saya satu-satunya laki-laki yang belum menikah di keluarga kami, jadi saya bisa memberikan perhatian saya sepenuhnya pada Tara. Windy sudah susah dan selalu menangis karena penyesalan jadi ibu tunggal, saya nggak bisa membiarkan dia menanggung beban ini sendirian. Saya sendiri udah mengatakan ini ke Pak Eren dan Mina, tapi mereka malah mengartikan saya meminta mereka menunggu."

Selaras | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang