Bab XXXIV - Everything Behind

47.6K 7.5K 496
                                    

Bab XXXIV – Everything Behind

Beberapa informasi memang seharusnya sekadar informasi, nggak perlu diambil pusing atau dipikirkan terlalu jauh. Percakapan Maudy dan Septa pada akhirnya bisa sekali menggangguku. Mengganggu ketenangan hidup dan hatiku. Harusnya aku pakai headset langsung saat mereka membicarakan Pak Afif, harusnya aku nggak mendengarkan mereka. Atau harusnya aku nggak bodoh begini memikirkan ucapan mereka.

Tapi sayangnya, aku nggak bisa tidur dan terus teringat ucapan mereka.

Aku udah nggak mau tau lagi tentang dia, dan itu sudah final. Nggak ada yang bisa mengubahnya. Aku akan tetap melanjutkan hidupku tanpa mengindahkan perasaanku padanya. Aku hanya akan bertahan hingga menemukan pekerjaan baru dan menganggap semua yang telah terjadi dalam hidupku hanya mimpi belaka.

Harusnya hanya mimpi.

Aku benci semua ini. Aku benci memikirkan sesuatu yang nggak bisa kutebak kebenarannya. Mana yang benar sebenarnya? Apakah pendapat Septa dan Maudy terkait Pak Afif itu benar? Atau hanya omong kosong belaka? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa perihal SP saja bisa jadi masalah besar? Apa benar Pak Afif akan ditarik Pak Kelvin? Atau ... pindahnya aku memang karena telah direncanakan olehnya?

Rasanya, aku benar-benar ditarik dalam kerumitan tanpa henti. Kalau nggak karena butuh uang, aku juga nggak akan bertahan di kantor itu. Kalau bukan karena butuh uang, aku nggak akan membiarkan diriku berlama-lama di kondisi rumit ini. Merasa kebingungan seperti ini.

Semua ini membuatku gila.

Dan kenapa, sih, aku susah sekali mencari pekerjaan baru? Sampai hari ini nggak ada yang memanggilku atau memang aku harus terjebak di sini dulu? Sampai akhir tahun? Sanggupkah aku bertahan selama itu atau akan ada hal yang akan kuketahui dan mempengaruhi cara pandangku? Membuatku mempertanyakan diri sendiri lagi.

Sial.

Kutarik napas panjang dan menenangkan diri. Hari ini, Pak Afif datang lagi ke ruangan Mbak Seira. Entah apa yang mereka bicarakan hingga lama sekali berada di sana. Aku terus menundukkan kepala agar nggak melihat interaksi mereka. Sayangnya Mbak Seira nggak mengaktifkan switchable privacy-nya hingga aku harus bersabar karena kubikelku benar-benar berhadapan langsung dengan ruang kerjanya.

Baiklah. Aku sebaiknya ngopi saja.

Siapa tahu dia sudah pergi saat aku kembali.

"Mod, Sep ... mau kopi nggak?" tawarku pada mereka. Maudy dan Septa serempak menggeleng. Aku mengambil dompet dan dengan cepat pergi, nggak lagi melihat ke dalam ruangan. 

Saat sampai di coffee shop, aku malah melihat Kak Nela dan Kak Tina sedang bercengkrama. Jujur, aku kangen berat mengobrol dengan mereka. Kami memang sesekali makan siang dan makan malam bersama, tapi nggak lagi intens karena kesibukan masing-masing.

"Sherinaaa!" Kak Nela langsung menyambutku dengan pelukan, aku memesan americano sebelum bergabung di meja mereka.

"Lo kok kurusan?" tanya Kak Tina mengamatiku dari kaki hingga ujung kepala.

Aku mengamati diriku sendiri, padahal akhir-akhir ini aku lagi banyak makan. "Masa, sih, Kak?"

Kak Tina dan Kak Nela saling pandang lalu mengangguk tipis. "Kerjaan lo banyak banget ya gantiin Karin? Dia lagi enak-enakan ... menyusui anaknya sekarang!" Kak Nela memperlihatkan chat mereka kepadaku, aku terkekeh singkat.

"Lo pada kenapa nggak cerita dipanggil Bu Yildis?" tembakku langsung. Biasanya mereka langsung heboh untuk urusan apapun, tapi di grup mereka hanya membahas makanan-makanan yang nggak terlalu penting.

Kak Nela terkekeh. "Nggak boleh bahas sama Bos Apip. Biar lo nggak kepikiran katanya."

Aku merengut. "Dia sendiri yang mengeluarkan SP," timpalku santai dan menerima americano-ku.

Selaras | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang