05 || MY NEW DARTING MAKER

155 54 8
                                    

Satu kata saja, yaitu mengherankan. Rasanya aku supersemangat hingga semua orang pasti tahu bahwa wajahku sedang berseri-seri. Tapi, anak-anak tadi—calon peserta olimpiade— justru menjadi suram.

"Hai!" Oke, sepertinya dugaanku salah. Kini salah-satu dari mereka yaitu Dwi, sedang menyapaku dengan girang seraya menepuk pelan bahuku. "Kita sekelas, nih. Belajar bareng, yuk."

Cewek ini begitu percaya diri untuk melakukan teknik SKSD kepadaku. Serta merta aku menoleh kepadanya dengan tatapan sayu. "Sekarang masih jam istirahat, entaran aja, deh."

"Ayolah, kita bisa belajar sambil makan. Gampang itu, mah," ujar Dwi dengan memaksa. "Tapi, jangan di kelas. Ribut banget di sana. Mending di perpustakaan aja."

"Ya, sudahlah."

Pada akhirnya, aku dirangkul oleh Dwi dan spontan kepalaku menoleh ke arah Aydan yang sudah memberi acungan jempol kepadaku. Yeah, tak apa. Lagi pula hanya belajar bersama dengan salah satu rivalku. Eh, Dwi rivalku, 'kan?

Bel masuk masih belum berbunyi ketika kakiku telah melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Hening dan suram. Memang seharusnya seperti itulah suasana perpustakaan. Apabila ada manusia yang membuat keributan, siap-siap saja sang penjaga perpustakaan akan mendampratnya.

Kami menduduki salah satu bangku yang panjang seperti meja makan ala rakyat tajir dan berisi banyak kursi tanpa penghuni. Tentu saja sebelum kami menempelkan bokong, Dwi telah meminta izin pada penjaga perpustakaan alias Bu Mirna untuk mempersilahkan kami mendekap dalam sarangnya hingga bel masuk berbunyi. Atau lebih tepatnya bel istirahat selanjutnya berbunyi.

Dwi mengambil beberapa buku tebal pada rak bagian sains lalu meletakannya tepat di depanku.

Baru saja dia kembali menduduki kursinya, serentak ada beberapa cowok yang memasuki perpustakaan dengan keributan dari mulut mereka dan memasang wajah badak seakan-akan tidak peduli akan peraturan umum seputar ruangan ini.

"Mulai deh cowok-cowok ini," gumam Dwi seraya menopang kepalanya dengan tangan, kemudian membuka buku pada halaman tengah.

"Mereka siapa?" Aku bertanya dengan berbisik.

"Lo nggak tahu, ya?" Kepalaku menggeleng pelan setelah dilemparkan pertanyaan tersebut dari Dwi.

Wajar saja aku tidak tahu, aku adalah murid baru di tahun ajaran kedua yang tidak tahu-menahu tentang sekolah ini.

Serta merta Dwi mencondongkan tubuhnya ke arahku dan berbisik, "Mereka boyband murahan yang populer di sekolah kita. Mereka selalu ribut begitu."

"Terus ngapain di sini?"

Belum sempat Dwi menjawabku, cowok-cowok heboh tersebut menempati kursi yang berada di seberang kami. Lebih mengesalkannya lagi, mereka seenaknya ribut seperti di pasar malam yang minggu lalu aku datangi bersama Darren. Aku melirik ke arah meja Bu Mirna dan kini mendapati beliau tidak pada tempatnya. Pantas saja cowok-cowok ini berani ribut tanpa takut akan teguran.

Setelah kuperhatikan, mereka hanya berlima. Ternyata kemampuan observasiku seputar menghitung sangat rendah hingga baru sadar akan hal tersebut selama beberapa detik.

"Waduh, Amey rajin bener di perpus gini. Kesambet apa?" celetuk salah satu cowok yang duduk di deretan kedua dengan tampang jail.

Siapa Amey?

Mata cowok itu tertuju pada Dwi. Rupanya panggilan Dwi adalah Amey. Seingatku, nama lengkap cewek ini adalah Dwi Amey dan kukira nama depannya adalah panggilannya.

"Kok lo punya temen cakep nggak kenalin ke gua, sih?" tanya cowok sebelahnya yang sedang membawa kucing putih di pangkuannya kepada Amey. Pasti yang ia maksud adalah diriku.

MY CATE [ END ✅]Where stories live. Discover now