20 || PENGUNTIT

64 33 0
                                    

Alih-alih mencuri dengar obrolan polisi dan mengintip penyelidikan mereka, kami justru menguntit Viona yang berjalan tak kalah mencurigakan seperti kami. Lebih anehnya, dia membawa sebuah kantong plastik hitam kecil yang seakan-akan ingin bertransaksi narkoba seperti di film-film. Tapi percaya deh, cewek feminim dan populer seperti Viona saat keadaan seperti ini justru mirip sekali seperti penjahat tak berakhlak.

"Jangan nginjak sepatu gue!"

"Maap, Kin! Gua nggak lihat."

Menguntit sangatlah menyusahkan.

Viona mengambil jalur aman yang jarang-jarang terlihat seorang polisi lalu-lalang. Itu sangat menguntungkan aku dan Vin untuk mempermudah menguntitnya. Tapi, sesekali cewek itu menoleh ke belakang yang sepertinya merasa diikuti. Naluri seorang cewek sangat kuat, aku tahu hal itu dari Darren yang telah membaca artikel di situs online. Entah itu fakta atau bukan, aku tetap mempercayainya. Ini jelas bukan pekerjaan yang gampang. Satu sisi kami takut dipergoki oleh polisi. Di sisi lainnya, takut ketahuan oleh Viona dan kami otomatis gagal dalam mengetahui niat cewek itu mengendap-ngendap ke sekolah di saat seperti ini.

Setiap kali dia melakukan sesuatu yang cukup menyusahkan, seperti berbelok atau menoleh, kami berdua secepatnya berkamuflase bak bunglon dengan kondisi sekitar. Berkali-kali kami harus berjongkok di belakang meja yang tergeletak di pinggir koridor, nemplok pada ceruk di dinding, menderap pada tiang-tiang, bahkan ada kalanya terpaksa harus tiarap di lantai dan berharap pot tanaman yang berukuran jumbo bisa menutupi diriku seperti film-film perang. Ditambah kami harus memasuki ruangan terdekat saat tidak ada barang yang besar untuk menyembunyikan keberadaan kami dari pandangan Viona.

Aku nyaris tertawa saat Vin tampak kesulitan untuk menyembunyikan diri akibat tubuhnya yang besar seperti preman jalanan. Terlebih lagi ia harus merelakan kucing kesayangannya ditinggal pada ruangan klub musik. Sepertinya suatu saat kami akan melamar pekerjaan sebagai paparazi atau stalker.

"Kita lagi simulasi jadi detektif, nih?" bisik Vin yang sedang memeriksa keadaan di ceruk dinding.

"Serah lo mau nyebut apa. Eh-eh! Ayo lanjut jalan!" kataku seraya mendorong-dorong bahu Vin.

"Sabar! Dia belum jauh."

"Lama ah ..." Sepertinya aku terlalu keras kepala untuk memunculkan diri hingga membuat Viona yang tampak parno mulai menoleh ke belakang.

Syukurlah pada detik-detik terakhir Vin menyambar tanganku dan menarikku merapat ke dinding. Sebenarnya lebih tepatnya lagi, aku merapat pada Vin. Wajahku terasa panas karena dia menyandarkanku pada tubuhnya! Sampai-sampai aku bisa mendengar bunyi jantung Vin yang berdetak cepat akibat tak kalah panik dariku.

Keberuntungan menghampiri kami. Perasaan lega hadir saat terdengar langkah Viona sudah menjauh.

TLING! TLING! TLING!

Oh, Crap. Ponsel Vin berbunyi lagi.

Kenapa dia tidak membuang benda menyebalkan itu saat pertama kali menghancurkan awal pergerakan kami? Jantungku nyaris mencelus saat suara langkah Viona kembali mendekat. Buru-buru Vin mengambil ponselnya dan langsung mematikan daya agar tidak terulang hal yang sama. Sekarang, apa kami harus kabur?

"Ehem." Vin berdeham keras. Menjengkelkan cowok satu ini, perbuatannya akan semakin memancing Viona untuk menciduk kami!

Vin melanjutkan aksinya sebelum aku menggebuk, menginjak, menjotos atau segala penganiayaan yang akan kulontarkan padanya.

"Apa area sekitaran sini perlu diberi penjagaan lagi, Pak?" Ternyata dia ingin mengelabui Viona dengan berpura-pura sebagai polisi yang sedang berbicara bersama rekannya di telepon setelah ponselnya berdering. Benar-benar cerdik! "Oh, iya, Pak, baiklah. Saya akan jalan ke sana, sepertinya area ini ada orangnya."

MY CATE [ END ✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang