25 || VERLY ATAU VIONA?

63 34 0
                                    

Sesampainya kami di UKS, Aydan membaringkan Zeha di kasur UKS. Kini aku tidak salah lihat bahwa Aydan sedang menangis. Astaga, Zeha hanya pingsan, bukan sakaratul maut. Dia hanya dipukul oleh tongkat, bukan ditikam oleh pisau. Mungkin seharusnya aku tidak boleh menyalahkan Aydan yang begitu khawatir pada cewek itu.

Rua dari anak kelas XI_A IPS alias penjaga UKS telah mengatakan bahwa Zeha hanya pingsan akibat terpukul di bagian belakang lehernya dan tentu saja cukup parah. Padahal, kami belum mengatakan apa pun padanya. Mungkin dia seorang peramal atau mungkin tidak. Kurasa Rua melihat bekas lebam dari punggung leher Zeha.

"Aku pernah diberitahu oleh seseorang, jika ada orang yang pingsan, bisa dipijat kakinya agar cepat bangun," kataku.

"Mungkin bisa dicoba," balas Rua berwajah tanpa ekspresi dan kedua tangannya langsung memijat kaki Zeha.

Apabila itu tidak berhasil, maka bukan salahku. Aku sudah memperingati bahwa tidak tahu apakah drama fiksi yang kutonton adalah benar atau salah. Semoga saja benar.

"Ver," Aku jadi terkejut saat Aydan memanggilku di sela-sela tangisan tanpa suaranya. "Zeha kenapa sampai pingsan?"

"Verly ..." Oke-oke, aku salah saat menyebutkan kalimat pembukaan dengan nama Verly hingga mendapatkan tolehan dari Aydan beserta matanya yang melotot. "Zeha dipukul Verly."

"Udah gue duga." Suara Aydan terdengar rendah, namun dingin sehingga membuatku sedikit tersentak.

Sedari dulu cowok ini selalu tampil jutek. Percayalah, jika semua orang melihat ekspresinya saat ini, mungkin akan memasang wajah takut yang sama sepertiku. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganjal dari ucapan cowok tersebut. Bagaimana bisa ia menduga hal ini akan terjadi? Ada sesuatu yang pasti tidak kuketahui.

Aydan pun melangkah cepat untuk ke luar dari UKS. Aku juga tidak ingin berdiam diri di sini, masih ada Rua yang menjaga atau memijat pasien sampai sadar. Aku ikut keluar dari UKS dan tentu saja ada yang harus kulakukan, yaitu pergi ke kantor kepala sekolah untuk menemui polisi yang berada di sana.

"Hei!" Haduh, apa lagi yang ingin dibicarakan oleh Rua? Aku pun menoleh untuk meresponsnya. "Teman kamu udah sadar."

Syukurlah, Zeha tersadar!

Terdengar Zeha mendesis kesakitan dan memanggil-manggil sebuah nama yang pastinya bukan namaku. "Viona ..."

Viona? Kenapa dia menyebut nama cewek saingan populerku? Cewek itu sedikit menyebalkan karena mulai berlomba-lomba memamerkan kehebatannya ke semua orang dan menjadikanku rival dalam ketenaran sosial media.

"Yang mukul gue si Viona. Crap, sakit banget nih leher sama kepala." Astaga, Zeha mengira jika yang memukulnya adalah Viona. Itu salah besar, tapi mengapa dia bisa asal menebak bahwa Viona yang mencelakainya?

"Kamu mending laporin Viona, Ver. Ini tindakan kekerasan," ucap Rua dengan tampang juteknya dan mendapatkan respons anggukan dariku.

Sepertinya dia menyuruhku untuk menemui Viona agar mempertanggungjawabkan atas kepingsanan Zeha. Tapi aku tidak bodoh, aku tidak akan melakukan hal tersebut.

Kakiku berjalan cepat menuju kantor kepala sekolah dan harus menyeruak ke dalam lautan manusia kepo yang sedang menonton drama di ruangan tersebut. Syukurlah tidak ada adegan tinju, dorong-dorongan, menyikut, tampar atau bahkan lebih parahnya jambak-jambakan. Aku menghembuskan nafas lega saat berhasil berdiri di depan pintu ruangan kepala sekolah dan melihat Darren yang melipat tangannya di atas meja seraya menunduk pasrah. Sedangkan Vin hanya berdiri di sebelah Pak Kepsek dengan wajah tegang.

Tanpa banyak pikir lagi, aku langsung melangkah masuk sebelum berkata, "Pak, lepaskan Darren! Saya saksi atas pelaku yang sebenarnya dengan mata dan kepala saya sendiri!"

MY CATE [ END ✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang