Bab 39 - Ide Rendy

9.5K 1K 1
                                    

5 hari kemudian.

Nasya mengaduk soto di mangkuk sambil sesekali melirik ke samping. Terlihat Sagara di sebelahnya tengah memakan mi ayam dalam diam. Sudah lima hari berlalu sejak meninggalnya ayah lelaki itu dan sampai hari ini Sagara masih diam. Jika sebelumnya Sagara terlihat pendiam dan irit bicara, sejak lima hari lalu hingga hari ini lelaki itu lebih parah lagi, sangat pendiam dan tidak akan bicara jika tidak ditanya. Ia bahkan terkadang mendapati Sagara tengah melamun dengan tatapan kosong.

Arhan dan Bintang yang membawa mangkuk bakso berjalan mendekat ke meja Sagara dan Nasya lantas duduk di hadapan mereka berdua. Tawa yang tadinya menghiasi obrolan mereka langsung terhenti saat melihat keterdiaman Sagara.

Arhan berdehem. “Ra, lo mau ikut gue sama Bintang main sepulang sekolah?” tawarnya.

“Kalau Kak Gara ikut, entar gue ikut juga deh,” timpal Nasya. Ia berharap jika dirinya ikut, maka Sagara juga akan ikut. Dengan pergi dan main bersama-sama mungkin lelaki itu akan lebih bahagia, bisa sedikit melupakan kesedihannya.

Respon yang didapatkan tidak sesuai harapan. Sagara malah beranjak dari duduk lantas menatap tiga orang di meja tersebut dengan raut datarnya.

"Gue ke kelas duluan."

Mulut Nasya terbuka, hendak mencegat Sagara, namun ia urungkan ketika melihat raut Sagara. Apakah lelaki itu marah karena diajak main?

“Bang, lo sih!” seru Nasya sambil menatap sang kakak.

“Loh, kok gue?”

“Lo yang tadi ngajakin main. Bisa aja Kak Gara marah.”

Arhan menghela napas. “Gue ngajak main tujuannya positif. Biar dia bisa lupain sebentar kesedihannya,” ia menjeda ucapannya untuk meminum es tehnya. “Dari yang gue amati, kayaknya Sagara belum relain kepergian Bokapnya.”

Bintang yang mendengar hal tersebut mengangguk setuju. “Di kelas juga dia banyak diam. Ya biasanya emang pendiam sih, tapi nggak separah ini. Kalau gue atau Arhan ajak ngobrol, biasanya mau nimbrung, tapi dari kemarin nggak mau.”

“Terus gimana caranya biar Kak Gara bisa balik kayak sebelumnya? Bisa lebih bahagia dan lupain kesedihannya?” tanya Nasya dengan raut yang berubah sendu. Ia sendiri sudah berulang kali mencoba menghibur Sagara, mulai dari mengeluarkan kalimat lawak hingga mengajak lelaki itu berkencan. Namun, hasilnya nihil. Sagara pasti akan menolak atau langsung menghindar pergi seperti tadi.

***

Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Nasya langsung bergegas mengemas buku serta alat tulisnya. Ia berlari menuruni anak tangga lantas menuju ruang kelas XII IPS 1. Satu per satu kakak kelas keluar dari ruangan tersebut. Tak berselang lama sosok yang ia nantikan terlihat. Sagara melangkah keluar kelas diikuti oleh Arhan dan Bintang di belakangnya.

“Kak Gara,” panggil Nasya dengan mengulas senyum. Ia terbiasa pulang diantar oleh Sagara, karena itulah sekarang ia menghampiri lelaki itu.

Sagara berhenti melangkah. Ia terdiam selama beberapa detik dengan menatap Nasya.

“Lo bisa pulang sendiri?”

“Ya?” sahut Nasya dengan raut kaget. Ia sempat terkejut dengan pertanyaan Sagara, namun akhirnya ia mengangguk. “Bisa.”

Setelahnya Sagara melangkah pergi dari hadapan Nasya. Sejujurnya ia tidak suka Sagara yang berubah tak acuh padanya, tetapi ia tidak berani untuk menyuarakan kalimat protes, apalagi kalau tahu alasan dari sikap Sagara akhir-akhir ini karena kematian ayahnya atau mungkin lelaki itu masih memiliki masalah dengan ibu tiri dan kakak tirinya.

His Future (TAMAT)Where stories live. Discover now