Bab 3 - Itu Dia

23.2K 2K 9
                                    

Nasya menyisir rambut panjangnya dengan tatapan kosong. Mata gadis itu menatap ke arah cermin, namun pikirannya melayang entah ke mana. Gara-gara insiden kemarin, ia jadi tidak bisa berhenti memikirkan lelaki itu. Sosok lelaki berjaket cokelat yang ia lihat masa depannya. Bagaimana bisa dirinya ada di masa depan lelaki itu jika ia saja tidak mengenal lelaki itu?

“Na! Mau bareng gue nggak?” tanya Arhan, menerobos masuk ke kamar adiknya tanpa permisi.

“Hah? Bareng ke mana?”

Arhan menjitak kepala sang adik. “Ya ke sekolah dong! Masa ke hutan!”

Nasya meringis lantas mengerucutkan bibirnya. “Tumben lo nawarin bareng. Tapi enggak deh, makasih, gue berangkat sendiri aja.”

“Mumpung gue lagi baik. Udah ayo, ambil tas lo,” ujar Arhan sedikit memaksa. Tanpa sepengetahuan Nasya, lelaki itu memperhatikan sang adik yang terlihat diam sejak kemarin. Sebagai kakak, tentu saja ia merasa sedikit khawatir, meskipun adiknya terkadang menyebalkan.

Nasya bergeming. “Nggak mau. Entar cewek lo ngamuk kalau lihat lo boncengan sama cewek lain, walaupun adik lo sendiri.”

“Lo lupa kalau gue sekarang nggak punya pacar?” tanya Arhan dengan sorot yang berubah tajam.

Kepala Nasya terangkat, ia menatap sang kakak sepenuhnya. Saat mendapati sorot tidak menyenangkan dari sang kakak, Nasya pun menunduk. “Sorry.”

Arhan masih menatap Nasya selama beberapa detik, kemudian helaan napas keluar dari mulutnya. Sorot Arhan berubah lembut. “Nggak usah minta maaf,” ujarnya agar sang adik tak merasa salah sepenuhnya. Insiden satu tahun lalu saat Arhan putus dengan pacarnya membuat lelaki itu terpukul, ia bahkan sempat menyalahkan Nasya. Namun, ia berusaha untuk bersikap lebih dewasa sekarang dengan tidak membuat adiknya merasa bersalah terus-menurus. Bodohnya, ia malah membuat Nasya teringat dengan kejadian itu lagi.

Nasya kembali mendongak. “Lo nggak marah?” tanyanya dengan hati-hati.

“Gue udah besar, nggak seharusnya marah-marah ke lo kayak dulu,” jawab Arhan dengan senyum lebar yang kini bertengger di wajahnya.

“Beneran?”

“Iya, beneran,” tutur Arhan, kemudian ia mengacak puncak kepala adiknya.

Tindakan Arhan membuat Nasya melotot detik itu juga. “Ih! Bang! Jangan diberantakin!” serunya tak terima. Ia bergegas merapikan rambutnya kembali.

“Nasya! Arhan! Kalian mau berangkat kapan? Jangan sampai telat!” seru Mama, menginterupsi kegiatan kakak-beradik itu.

“Tuh, dengerin, Nyonya rumah sudah bertitah, harus segera kita laksanakan. Berangkat sekarang,” ucap Arhan, kemudian menarik lengan adiknya keluar dari kamar.

***

Nasya dan Arhan berjalan beriringan di koridor sekolah. Mereka lantas berpisah karena kelas Nasya berada di lantai dua, sedangkan kelas Arhan berada di lantai satu.

“Gue naik duluan, Bang,” ujar Nasya sembari melambai. Hari ini ia tengah akur dengan kakaknya, tidak seperti hari-hari biasanya.

“Hm. Hati-hati naik tangganya,” sahut Arhan, kemudian membalas lambaian tangan adiknya. Lelaki itu terus berdiri di tempat sampai melihat adiknya naik ke lantai dua dan menghilang di balik tangga.

His Future (TAMAT)Where stories live. Discover now