Bab 16 - Tujuan

13K 1.4K 6
                                    

Dengan gerakan tergesa Nasya melepas tangan Sagara. Raut wajahnya tampak syok. Gadis itu berdiri dengan cepat dan kembali menatap Sagara. “Lo harus hati-hati, Kak. Kalau ada orang yang mencurigakan langsung lapor polisi.”

Setelah mengatakan hal tersebut, ia langsung berjalan cepat menuju kamarnya. Gadis itu butuh menenangkan diri usai mendapatkan penglihatan yang cukup mengerikan.

Tiga remaja yang berada di ruang tamu terdiam kaget mendengar perkataan Nasya. Selepas kepergian gadis itu, Bintang menatap Arhan dengan kening berkerut. “Adik lo kenapa, Han? Kok omongannya aneh gitu? Ngelantur?” tanyanya dengan raut heran.

Arhan terdiam selama beberapa detik, lelaki itu berusaha menetralkan keterkejutannya. Ia tahu kalau sang adik pasti baru saja mendapatkan penglihatan baru tentang masa depan Sagara. Ia menghembuskan napas singkat lantas beralih menatap Bintang sembari memutar otak untuk memberikan penjelasan. “Dia kadang punya firasat aneh. Ya gitu lah, susah dijelasin,” jawabnya lantas meminum es teh di atas meja untuk menghilangkan perasaan gugup karena berbohong.

Bintang mengangguk-angguk lantas mengangkat bahunya, lelaki itu tampak tak peduli. Ia berasumsi kalau perkataan Nasya hanyalah bualan semata. Mungkin Nasya sedang tidak enak badan dan sedang dalam pengaruh obat.

Lain halnya dengan Sagara. Sejak Nasya mengatakan ada seseorang yang berniat membunuhnya, lelaki itu terdiam dengan sorot kaget. Ia tidak tahu Nasya bisa mengatakan hal seperti itu atas dasar apa, namun Sagara percaya kalau memang ada seseorang yang berniat membunuhnya, lebih tepatnya menyingkirkan dirinya. Dua sosok muncul di kepalanya. Apakah mereka?

Sembari berbincang dengan Bintang, sesekali Arhan melirik ke arah Sagara yang masih terdiam. Lelaki itu hanya melamun, mengabaikan ponselnya, bahkan tidak meminum es tehnya. Arhan dapat menyadari kalau Sagara tengah memikirkan ucapan Nasya.

“Ra, mikirin apa?” tanya Arhan di sela-sela obrolannya dengan Bintang.

Sagara membuyarkan lamunannya. Lelaki itu beralih menatap Arhan lantas menggeleng pelan.

***

Sagara memarkirkan mobilnya di basement. Lelaki itu tidak langsung keluar dari dalam mobil, melainkan sibuk memandangi kertas yang kini berada di tangannya. Ada dua kertas, yang satu berisi tentang persetujuan Sagara sebagai ahli waris untuk menjadi penerus perusahaan pusat milik ayahnya yang berada di Jakarta. Sedangkan kertas yang kedua berisi tentang penolakan Sagara akan warisan ayahnya sekaligus menyatakan bahwa Sagara akan melimpahkan seluruh harta warisan beserta perusahaan kepada Nendra, kakak tirinya.

Sagara terdiam sejenak dengan kening berkerut. Tak berselang lama ia merobek salah satu kertas dan melemparnya sembarangan. Ia beranjak keluar dari mobil dengan membawa salah satu kertas.

Memasuki lift dan menekan lantai lima. Sampai di lantai apartemennya, Sagara berjalan cepat memasuki unit apartemennya. Lelaki itu mencari pulpen, begitu menemukannya ia langsung menandatangani kertas tersebut. Selesai menandatangani kertas, ia merogoh saku celananya untuk menghubungi seseorang.

“Oh, halo, Adik Kecil. Sudah membuat keputusan?” tanya sebuah suara dari seberang sana.

Sagara mencengkeram ponsel di tangannya. “Udah. Gue udah nandatanganin persetujuan kalau gue bersedia jadi ahli waris sekaligus penerus perusahaan pusat yang ada di Jakarta.”

Lo!” geram sosok dari seberang sana.

“Kenapa? Bukannya gue bakal untung banyak?” tutur Sagara, sengaja ingin memanasi sosok itu. “Jangan ganggu gue lagi, mulai sekarang urus aja perusahaan kecil yang ada di Kalimantan. Semoga beruntung. Ah, iya, duit lo bakal berkurang dong, dan gue bakal jadi lebih kaya dari lo.”

His Future (TAMAT)Where stories live. Discover now