Part 33 | Live Your Own Happiness

6.7K 1.2K 965
                                    

Kita bisa berjalan setelah berkali-kali jatuh. Kita bisa naik sepeda setelah berkali-kali jatuh. Lalu, kita pergi ke sekolah dan diajarkan supaya tidak jatuh. Yang jatuh berarti bodoh. Kita pergi ke dunia orang dewasa dan dilarang jatuh juga. Yang jatuh berarti gagal. Padahal jatuh hanyalah bagian dari fase menuju satu tujuan akhir: bisa.

_______________________________________














DAFTAR hal-hal yang bisa Ana kendalikan dan tidak bisa dikendalikan, yakni dikendalikan: lama main medsos, inventarisasi waktu luang, dan cara mengurus perasaan sendiri yang ambyar. Tidak bisa dikendalikan dan wajib dimasabodohkan: kelakuan orang lain, keputusan orang lain, dan bacotannya Satria.

"Ada yang tega tapi bukan Glenn Fredly. Ada yang jahat tapi bukan setan. Ada yang menghilang tapi bukan jin. Ada yang baru patah hati tapi bukan gue." Satria mengucapkannya selancar intensi julidnya. Tak berhenti di sana, ia juga memutar lagu dari ponsel lalu teriak-teriak bernyanyi, "Kumenangis membayangkan betapa kejamnya si Deo atas diriku."

Topeng kalem Ana rontok. Ia melempar sendok dan menggetok Satria tepat di jidat.

"Hadeh." Erangan tobat Arfan berbarengan dengan jeritan Satria. Ana cengengesan. "Dek, itu seblaknya di makan. Satria, lo juga. Ngomong sambil makan, mau gue lakban?"

Ahihihi... karma instan. Ana pura-pura menunduk sembari terkikik diam-diam. Omelan Arfan lanjut menguliahi Satria. Ia menekuri kembali catatannya.




Langkah menyelesaikan urusan dengan diri sendiri: satu, kenali diri lebih jauh.




"Dek, sini biar Abang aja. Kamu kan perempuan, jangan angkat yang berat-berat."

Arfan menghentikan gerakan membungkuk Ana. Selesai makan siang, mereka sama-sama ke garasi untuk melihat paket yang teronggok di sana. Besarnya ukuran paket mendorong kakaknya turun tangan.

Ana menegakkan punggung. Matanya melotot. "Emang kenapa perempuan angkat yang berat-berat?" Dipikir cuma laki-laki yang bisa? Dih! "Enggak usah! Aku bisa sendiri!"

Menepis bantuan abangnya, Ana mengerahkan segenap tenaga dalam mengusung paketnya ke ruang bersantai di lantai dua. Satu, dua, tiga... hiya, berat.

Ia mencoba lagi. Kali ini dari sudut yang berbeda. Woi, ini paket atau gajah, sih? Isinya cuma jaket dan hoodie, beratnya bukan main.

"Kan, udah Abang bilangin." Arfan berkacak pinggang. Ngeyel, sih, jadi susah sendiri. "Maafin Abang kalau nada bicara Abang barusan terkesan ngeremehin kamu. Tapi beneran enggak gitu maksudnya, Ana. Abang murni nawarin bantuan. Laki-laki itu dikasih kelebihan fisik, makanya lebih kuat angkat-angkat beginian. Kamu enggak perlu benci itu dengan berusaha buktiin sebaliknya. You also have excessive that I don't have."

Dalam satu gerakan simpel, Arfan memanggul beban hidup Ana semudah mengangkat gorengan. Bobotnya seakan bukan halangan langkah cepat Arfan. Ana cemberut.

Iya, sih, kakaknya benar. Ana ingin mandiri, tetapi bukan berarti melampaui batasnya. Hal-hal yang sanggup ia tanggung, apa yang membuatnya terluka, mau jadi apa dirinya, kelebihannya, kekurangannya... harus ditelaah lagi. Rangkul semuanya dalam upaya mengenali diri sendiri. Tujuannya adalah menjadi manusia independen, bukan robot independen.

Ada kata "manusia"-nya, maka berlakulah selayaknya manusia pada umumnya. Manusia yang punya kelebihan dan kekurangan serta tidak memaksakan diri melewati batasannya.



Langkah kedua, self acceptance.




"Jualan kayak gini untung berapa, sih, An?"

With Luv, Ana [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang