P R O L O G

19.7K 2.2K 414
                                    

Tidak semua orang puas dengan pertemanan di dunia nyata. Orang-orang yang dapat diamati secara fisik dan sifat, sering kali lebih banyak menyakiti ketimbang membahagiakan dalam interaksi.

Rasa tidak nyaman kemudian timbul mengikuti. Ingin membalas, ingin menjauhi, ingin mendamprat, tetapi pada praktiknya hanya bisa diam dan menerima.

Hati kecil berkata, "Sudahlah, biarkan saja mereka berbicara semaunya."

Lalu, senyum simpulmu terulas sebagai jawaban. Logikamu membenarkan jika membalas dengan sama-sama menyakiti hanyalah sebuah tindakan kekanakan.

Pikirmu, "Toh, hidupku tidak bergantung pada mereka. Buat apa susah-susah bertingkah untuk menghadapi mereka? Orang-orang seperti itu tidak ada habisnya dalam siklus hidup manusia."

Seni untuk bersikap masa bodoh dieksploitasi. Kamu berusaha setegar mungkin mengabaikan kalimat-kalimat buruk yang datang dari orang-orang di sekelilingmu. Kamu berusaha menutup telinga rapat-rapat dan berjalan ke depan seolah tak terganggu.

Namun, benarkah sikap masa bodohmu adalah murni? Benarkah ketidakpedulian itu sungguh melindungi hatimu?

Manusia punya titik terbawah dalam hidupnya. Sikap apa yang harus kamu keluarkan ketika orang hanya sibuk mengomentari, bukannya peduli?

"Gambar itu enggak bisa ngasih kamu jaminan kestabilan finansial, Ana. Udah bagus kamu ambil jurusan akuntansi. Tapi itu bukan berarti kamu bisa neko-neko. Tetap ingat kamu itu perempuan. Langkah kamu enggak selebar laki-laki." Ayahnya menggeleng tak habis pikir. Dicampakkannya notes berisi oret-oretan net profit yang baru Ana sodorkan.

Reaksi lebih keras datang dari Arfan. "Kenapa sih kamu keras kepala banget dibilangin, An? Bisa-bisanya kamu main trading saham. Kelewatan! Tarik semua investasi bodong kamu atau Abang stop jatah bulanan kamu!" Kemarahan terpancar jelas dari sorot mata berangnya. "Abang enggak percaya kamu sesembrono ini, Ana!"

Satria menghentikan kunyahannya. Garis pandangnya pada televisi kemudian bergulir kepada sang adik yang diam di seberang sofa. Ia meletakkan bungkus camilan.

"Iya, tinggal nurut aja apa susahnya, Dek? Bener yang dibilang Ayah. Perempuan itu enggak boleh sembarangan soal uang. Kamu seharusnya bisa nentuin rencana mana yang bagus buat jangka panjang dan bisa hancurin kamu dalam satu kedipan." Satria merobek-robek kertas yang barusan ditunjukkan Ana. Aksinya diiringi decakan pelan. "Jangan nyalahin kodratlah. Area kekuasaan perempuan itu sumur, dapur, kasur, bukan trading beginian."

Genggaman tangan Ana pada print-print-an portofolionya menguat. Rahangnya terkatup rapat. Ia sudah sekolah tinggi-tinggi, lulus dari Global University Singapore, ngendon bersama ratusan buku... tapi ayah dan abangnya masih memandangnya dengan sebelah mata. Kodrat, katanya? Mikir apa mereka beranggapan perempuan tidak sepantasnya keluar dari zona sumur, dapur, dan kasur?

Emosi mendorong Ana keluar dari kabut keterdiaman. "Aku capek-capek kuliah bukan buat diremehin! Kalian bisa enggak sih support aja, bukan ngomong yang enggak-enggak?" Tujuan Ana memperlihatkan portofolionya adalah meminta saran, bukan dijatuhkan. "Lagian, apa salahnya trading saham? Aku itu udah dewasa! Sejauh ini belum pernah loss kok!"

"Iya, terlalu dewasa sampai kamu minjem dua ratus juta buat ikutan trading sialan! Itu uang temen kamu, bukan kamu, Ana! Sadar enggak sih letak kebegoan kamu di mana?" Arfan balas membentak.

Gebrakan meja datang dari Satria. "Punya otak tuh dipakai, bukan dijadiin pajangan! Enggak mau tahu, kamu harus tarik semua investasi bodong kamu!"

Oh, jadi sedangkal ini penilaian kakaknya? Mereka pikir Ana anak kecil yang tidak tahu pros dan cons tiap-tiap pilihan?

With Luv, Ana [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang