Part 8 | Lima Meter Apart

7.5K 1.3K 623
                                    

Challenge: Try not to laugh, nyengir, atau senyum selama baca.

Kalau gagal, wajib komen di paragraf yang jadi penyebab kegagalanmu.












____________________________________

Ya Tuhan, jauhkanlah hamba dari jodoh yang kedekut, medit, dan pelit karena hamba suka banget jajan.

____________________________________










CIRI jurik uhuy-uhuy ala Indonesia:

Satu, kehadirannya mampu membuat lampu kedip-kedip, korslet hingga mati listrik.

Ana menatap ponselnya yang mati berikut sambungan telepon yang terputus tiba-tiba. Entah kehabisan daya atau pengaruh kekuatan gaib di depannya, sumpah ia terlalu unyu untuk mati muda. Kalau nanti hantunya marah terus krauk-krauk memakan Ana, bagaimana?

Kedua, bau jurik itu iyuh. Seperti ada apak-apaknya plus busuk tingkat dewa. Mirip bau Satria dan Arfan yang disuruh mandi waktu hari Minggu tapi malah balik bertanya, "Apa itu mandi?"

Hidung Ana mengendus-endus. Wangi citrus yang dikombinasikan amberwood mendominasi udara di sekitaran. Agak fokus sedikit, mint segar turut meramaikan penciuman. Ia mengernyit. Lah, masa sih hantu parfuman? Bukannya mereka itu miskin kabina-bina sampai kapur barus saja tidak sanggup beli?

Ana maju enam langkah demi mendapat ciri yang lebih baik.

Ketiga, temperatur udara berubah drastis. Kalau ini, betul. Sedari tadi, kemunculan makhluk jadi-jadian mirip Deo telah berhasil menimbulkan efek yang kurang lebih sama seperti saat Ana melihat Radean.

Mikir utang, puyeng menentukan cara pelunasan sampai depresi ringan. Aduh, overthinking lagi, kan.

Ana meneguhkan diri. "Mau saya sambit pakai doa atau aniaya pakai kardus mi instan biar mati dua kali?" ancamnya.

Sosok jelmaan Deo itu terlihat menanggalkan koper. Keluar dari bayang-bayang lampu, ia mengikis jarak. "I came here to negotiate. You don't have to throw anything dramatically." Angin tengah malam membaur bersama buangan napas Deo. "Lagi pula, memangnya kamu mau makan tongseng kaktus kalau melempar sekardus mi untuk menganiaya? Saya sih terima-terima saja-gratis soalnya-tapi nanti kasihan kamu."

Berewokmu mengalihkan duniaku, Pak.

Ana gagal fokus. Lambaian rambut-rambut lebat yang condong ke arah kiri gara-gara angin, menarik untuk diamati. Amboi, berewoknya kompak sekali. Ia jadi sadar ini betulan manusia tulen. Mana ada memedi punya berewok se-ulala Deo?

Dekapan Ana pada kardus mi mengerat. "Maaf, saya kira Pak Deo jurik." Langkahnya lanjut memburu pintu rumah. Ia menekan sakelar lampu ruang tamu sebelum mempersilakan Deo masuk. "Bapak mau minum apa? Teh, kopi, atau jus?" tawarnya sambil berlalu.

"Teh saja." Deo mengikutinya masuk.

Dari balik bahu, Ana bisa melihat tamunya itu melepas alas kaki. "Teh? Oh, tapi adanya cuma air putih," sahut Ana cuek.

Belanjaannya ditaruh di dekat kulkas dapur. Sibuk menata frozen food, bumbu instan, serta air mineral membuatnya tak mendengar dengkusan kasar dari ruang tamu.

Deo menggerutu. "Terus buat apa sok-sokan menawari?" Astaga, hasil didikan Arfan sungguh menjengkelkan. Deo menggeram rendah ketika mengamati perabotan serba pink di sekelilingnya. "Demi Tuhan, saya bisa belekan lihat pink di mana-mana. Ana, bisa tidak kamu buang sofa pink, bantal pink, bahkan gorden pink dari jarak pandang saya?"

With Luv, Ana [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang