Part 23 | Memanusiakan Manusia, Bukan Mendewakan Manusia

4.3K 1K 699
                                    

Gue udah rencanain A, B, C, yang kejadian malah F. Ya udahlah, lain kali biar Tuhan aja yang rencanain. Kemarin gue nyoba berencana malah gagal semuanya.

_______________________________________








PEOPLE come and go.

Suara langkah kaki mereka sering kali tidak terdengar. Bisikan perpisahan kadangkala tak terumbar. Jangankan lambaian pamit, pemberitahuan akan angkat kaki dari dunia seseorang saja tidak ada. Langsung menghilang dan berlaku seolah tak pernah saling bersinggungan. Begitulah seni melepaskan yang Ana ketahui.

Hidup pada dasarnya memang tentang mengenal orang baru dan melepaskan orang lama. Manusia bangun dengan mood yang berbeda setiap paginya, menjalani hari dengan perasaan yang berbeda setiap jamnya. Maka tak heran bila mereka mudah berubah pikiran soal hubungan. Seringnya hanya beberapa yang tetap dipertahankan dan itu termasuk teman setia seperti Pian.

Ana menatap tautan jemari di pangkuan. Impulsif sekali keputusannya kali ini. Sedari awal, ia amat memisahkan dunia maya dan dunia nyata, tetapi ujug-ujug mengatur agenda pertemuan dengan Pian.

Sayang banget kan temenan bertahun-tahun ujungnya ngilang gitu aja? batin Ana menyangkal keraguannya.

Pian tak pernah memandang fisik, sopan, tidak mesum, humoris, satu frekuensi dengan Ana, dan loyal. Walaupun slow response, Pian tetap mengabari Ana di sela kesibukannya.

Bertahun-tahun menjalin pertemanan virtual, Pian tidak pernah sekali pun meminta bertemu. Apa lagi yang perlu Ana ragukan dari sosok berkriteria seperti itu?

"Tapi gimana kalau Pian enggak sesuai bayangan lo, Na?" Setan di sisi kiri mulai menggoyahkan keyakinan tersebut. Trisulanya langsung berperan memotong kepercayaan diri Ana. "Gimana kalau ternyata Pian itu aslinya burik, tonggos, kucel, dekil, pedo, gay, opa-opa, tuwir? Hayoloh, mau apa lo abis itu?"

Hiii... betul juga. Imaginasi yang dibangun Ana tentang Pian bisa hancur lebur. Auto balik badan sekaligus pura-pura tidak kenal.

Sang Malaikat baik hati geleng-geleng tidak setuju. "Ana, Pian saja enggak pernah memandang fisik kamu, kenapa justru kamu melakukannya? Ingat, andai bukan karena Pian, kamu pasti sudah langganan keluar masuk RSJ."

"Alah, jasa enggak penting kalau penampilan enggak mendukung!" debat sang Setan keras kepala. "Pian itu too good to be true. Belajar aja dari pengalaman lo sama Radean, deh. Luarnya doang terkesan baik, dalemnya bajingan veteran. Mana ada orang sebijak Pian kalau bukan opa-opa tuwir?"

"Heh, Tan! Bijaksana itu ditentukan dari pengalaman, bukan usia seseorang. Lagian, status Pian itu cuma teman. Apa pentingnya penampilan fisik?"

Ucapan malaikat ada benarnya. Ana hanya tidak ingin kehilangan Pian sebagai teman suka-dukanya, bukan mau meningkatkan status mereka. Entah aslinya Pian jelek, tidak penting. Jika pun nantinya Pian berani macam-macam, taman termasuk termasuk tempat umum. Ana tinggal menghubungi Deo, selesailah perkara. Jadi, berhenti overthinking.

"D, turunnya di halte depan, ya. Aku udah janjian sama temen," ucap Ana pada Deo yang fokus menyetir. Tadi laki-laki itu bilang ingin menemui klien. Keinginan Ana dalam memberi first impression bagus ke Pian pada akhirnya membuatnya melanjutkan perjalanan dengan bus.

Yee... tidak lucu bukan jika selama ini ngakunya kalangan rakyat jelata, tapi diantar mobil BMW? Bisa-bisa Pian nanti insecure.

Deo mengangguk. "Oke. Kamu bisa hubungi saya jika ada apa-apa, Ana."

With Luv, Ana [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang