Part 2 | Kerja, Kerja, Tipes

9.8K 1.7K 252
                                    

Barangsiapa yang bekerja keras sampai keringat bercucuran, rajin lemburan, jadwal piknik ditiadakan, stres mengurusi kerjaan, niscaya yang kaya tetap Rafathar.

____________________________________










TUHAN, tolong begal dirinya sekarang juga! Begal sampai Ana lupa pernah kabur dari todongan Pak Berewok. Disuruh ganti rugi lima juta? Memangnya Ana punya?

Oh, jelas punyalah... dalam kehaluan. Belahan jiwanya-garis-miring-dompet saja raib entah ke mana.

Ia buru-buru membuka pintu kaca dengan plang bertuliskan divisi keuangan. Tidak sempat touch up mekap karena sudah terlambat lima belas menit. Begitu menginjakkan kaki di dalamnya, seluruh mata tertuju padanya.

Krik-krik. Eh, apa Ana salah kantor?

"Anak baru, ya?"

Ana menelan saliva. Suara itu tidak bernada rendah juga tidak tinggi, tetapi keangkeran yang tercipta setelahnya mampu membuat keberaniannya amblas ke dasar bumi.

Tatapannya menyapu benda-benda pertama dalam jangkauan matanya. Tas Coach, Miu Miu matelasse, jam tangan Fossil, dan make-up on fleek para pemilik tatapan menusuk itu lebih dari mampu memicu jiwa misqueen Ana meronta-ronta.

"I-iya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"I-iya." Sumpah, Ana berasa gembel nyasar dengan heels patah dan kemeja penuh keringat. "Salam kenal, Mas, Mbak. Mohon kerja samanya."

Sebelas pasang mata itu kembali mengacanginya. Mereka berlaku seolah Ana tidak pernah eksis di sana dan kebingungan setengah mati harus apa.

"Tempat duduk lo di sebelah Lila, tuh," tunjuk seorang perempuan berambut blunt bangs.

Setengah berterima kasih, Ana membenarkan rok selututnya sebelum menjajah masuk. Entah mana yang namanya Lila, pokoknya satu-satunya kursi kosong di ruangan itu ya jelas miliknya.

"Tessa Ariananda, 'kan?" Seseorang mencolek lengannya ketika baru duduk di kursi. Sudut bibir Ana dipaksa mengembang. "Gue Lila. Salam kenal."

"Ana. Salam kenal, Mbak Lila," sapanya canggung.

Lila sontak tertawa. "Aduh, aduh... gue dipanggil 'Mbak', Guys. Emangnya gue setua itu, ya?" Kekehan pelan terdengar bersamaan dengan hasrat pindah planet yang Ana rasakan. "Santai aja. Cukup panggil Lila, enggak perlu embel-embel apa pun."

Pertama, tukang copet ganteng gaya trendi. Kedua, om-om berewok makan bubur kaki lima tapi outfit berjeti-jeti. Ketiga, rekan kerja kelas sosialita yang harga tasnya bisa untuk makan dua bulan. Keempat, panggilan "Mbak" dikira menuakan si pemilik nama. Jakarta sungguh luar biasa.

Ana meringis tak nyaman. "Maaf, Lila."

Biarpun sudah dikenalkan dengan lingkungan gurun Verizon lewat pelatihan prakerja, tetap saja jenis interaksi semacam ini tergolong baru baginya. Mau sok kenal sok dekat pakai "lo-gue" takut dikira kurang beretika. Rajin-rajin mingkem, nanti disangka tuna wicara. Haish, regulasi percungpretan memang superduper memusingkan.

With Luv, Ana [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang