Part 4 | Bukan Perusahaan Nenek Moyang

5.6K 1.1K 163
                                    

Yang dilihat orang lain: makmur, bisa beli apa saja, kiriman uang untuk orang tua lancar jaya.

Yang tidak dilihat orang lain: babak belur diterpa deadline, omelan bos, lemburan tanpa henti, dan target bejibun tingkat innalillahi.

____________________________________








TIDAK pernah ada yang mengatakan padanya bahwa dunia orang dewasa akan cenderung penuh luka.

Tidak pernah ada yang mengatakan padanya bahwa sekolah bertahun-tahun, lulus, dan mendapatkan nilai bagus tidak menjamin kesuksesan di dunia kerja. Selalu ada orang yang lebih, lebih, dan jauh lebih kompeten di luar sana. Kamu hanyalah setitik debu yang merasa bangga dengan kemampuan tidak seberapa.

Tidak pernah ada yang mengatakan padanya bahwa mondar-mandir mengirimkan CV, negosiasi gaji, ditolak, interview berkali-kali tidak selalu membuahkan kebahagiaan sesuai ekspektasi. Boleh jadi itu gerbang neraka yang dilamarmu dengan sukacita atau siksaan pedih untuk membayar kerja kerasmu di sekolah.

Ana menyusut lelehan bening yang mengaliri pipinya. Gemercik air keran dengan apik menyamarkan isakan tertahan yang ia keluarkan.

"Sakit."

Merah dan lecet agak dalam. Pantas rasanya perih saat dibasuh dengan air.

Ana memiringkan wajahnya agar refleksi di cermin wastafel lebih mengekspos bekas lemparan sang atasan. Kalau diplester, yang ada nanti sembuhnya lama. Belum lagi menarik perhatian rekan kerja. Lebih baik dibiarkan terbuka sajalah. Nanti Ana oleskan salep luka untuk mencegah infeksi.

Sepakat dengan solusi yang dikemukakan akalnya, Ana berjalan keluar toilet. Ekspresi Lila yang cemas menyambutnya di ambang pintu.

"Ana, lo enggak pa-pa? Duh, sori banget ya gue limpahin kesalahan ke lo. Tadi gue blank waktu Pak Deo tiba-tiba ngamuk. Gue pikir karena lo anak baru, semua kesalahan bakal dimaklumin. Eh, enggak tahunya lo malah disemprot juga. Maafin gue, ya."

Rumus penting dalam dunia percungpretan: tidak ada teman sejati, yang ada hanyalah saingan abadi. Sekarang ia paham apa maksudnya.

Ana mengangguk pelan. "Enggak pa-pa. Santai aja, La."

"Beneran?" Lila kelihatan sangsi.

Ana menurunkan tangannya yang semula memegangi pipi. Yah, untuk apa juga dia berbohong? Yang lalu biarlah berlalu. Cukup kali ini saja Ana menjadi kambing hitam karena kasihan melihat Lila yang tertekan. Lain kali, nunggu kiamat dulu bila mau memanfaatkannya.

"Iya. Udah, jangan khawatir lagi. Ini bukan hal besar kok," katanya menenangkan.

Senyum Ana yang terukir tulus pada akhirnya membuat Lila mengembuskan napas lega. "Pak Deo pasti stres karena kerjaan lagi hectic parah. Dia biasanya enggak gitu, makanya gue kaget." Tangan Ana lantas digandeng. "Ya udah, yuk ke ruang meeting sekarang. Rapat bentar lagi mulai, An. Kita udah harus di sana sepuluh menit lagi."

Butuh derajat toleransi yang tinggi untuk menghadapi orang-orang seperti Lila. Batas ketahanan kesalnya juga harus berfungsi ketika perempuan itu dengan enteng menarik Ana mengakhiri jam istirahatnya tanpa sempat membiarkannya touch up mekap terlebih dahulu.

Menyimpan komentarnya, Ana lekas duduk di salah satu kursi dengan wajah mendung.

"Saya minta maaf sudah mengganggu fokus pekerjaan kalian, tapi masalah ini betul-betul tidak bisa ditunda lagi pembahasannya."

Sosok yang Ana kenali sebagai Raza Dewandaru, wakil direktur utama Verizon, membuka dialog usai peserta rapat memenuhi kursi. Meja panjang yang mampu menampung puluhan orang itu beralih fungsi menjadi tempat setumpuk berkas dijejerkan.

With Luv, Ana [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang