Part 5 | Mampus to the Bone

8.2K 1.5K 404
                                    

Lulus kuliah bukannya jadi fresh graduate malah jadi stress graduate.

____________________________________









ANA tambah duit sama dengan balance. Mau debit kepusingannya besar, kredit tantangannya berbanjar, ujungnya pasti harmoni. Berbeda jauh dari Ana tambah Lila. Lila terlalu rugi untuk Ana yang super laba. Hih, malah tekor terus yang ada jika terlalu lama dekat dengannya. Entah tekor emosi, kesabaran, pokoknya mood Ana sering rusak jika berdekatan dengannya.

"Woah, sepatunya cakep-cakep." Gandengan Lila akhirnya terlepas. Saat itu rasanya Ana ingin goleran di lantai demi meredakan pegal di kakinya. "Ya ampun, yang ini lucu banget! Beli, ah! Ana, mau yang merek apa?"

Merek tak keplak ndase sing ngajak muter-muter kaya kitiran gebleg metu-mlebu toko.

Wajah Ana masam. Gagal goleran, ia memutuskan jongkok selagi menunggu Lila selesai mengobservasi.

"Merek apa aja yang penting nyaman dipake, La," jawabnya pasrah.

Sumpah, pergelangan kaki Ana serasa mau copot sewaktu diajak naik-turun eskalator. Herannya, semangat Lila dalam mencari barang tak berkurang sedikit pun. Hadeh, satu-satunya keinginannya hanyalah tidur sampai pagi hingga lupa pernah melalui hari yang buruk.

"Oke, coba ini."

Sedikit berlari-lari kecil, Lila mencomot sepasang sepatu dan menyodorkannya.

Ana mengamatinya dengan ogah-ogahan. Nude patent leather, sol kulit, intertwining straps, dan covered heel. Enak di kaki, tapi coba lihat berapa harganya?

"Lima belas juta," gumam Ana. Matanya melotot. Astagfirullah, ini sepatu atau emas? Harganya sangat tidak berperikemiskinan.

Setengah meringis, Ana buru-buru mengembalikannya pada Lila. "Kayaknya enggak cocok deh, La, buat mondar-mandir di kantor. Yang espadrilles aja kayak yang kamu saranin."

Sadar diri, sadar diri, sadar diri! Kapan kayanya kalau gaji UMR tapi standar hidup DPR? Woilah, bisa mabuk mi instan jika manajemen keuangannya berkiblat pada gengsi.

Lila menurut. Selang dua menit kemudian, ia kembali dengan membawa pesanannya. Kali ini Ana langsung menyetujui usai melihat harga dan warna.

Sambil menunggu Lila membayar belanjaan mereka, mata Ana berjalan-jalan sebentar ke sepenjuru lantai dua Pacific Place.

Swalayan lumayan ramai di jam-jam after office begini. Tidak sedikit muda-mudi yang nongkrong di restoran tak jauh darinya. Pun dengan toko-toko brand ternama. Geser sedikit, kafe-kafe juga dipadati pengunjung.

"Udah. Nih, kembalian lo, An."

Sekantong belanjaan dan uang receh diulurkan Lila. Ana menerimanya. Tidak buruk juga berbelanja dengan Lila. Walau harus keluar-masuk seluruh gerai di mal untuk kemudian kembali ke toko pertama yang mereka datangi, semuanya sepadan dengan barang yang ia dapatkan. Murah bin diskon.

"Eh, itu Pak Deo bukan, sih?"

Seluruh sel di tubuh Ana mendadak bangkit dari mati suri. Kepalanya berputar mencari. Visual Deo yang berlapis intan, perak, terumbu karang, dan belerang kedapatan tengah nongkrong di sebuah kafe. Kerennya lagi, laki-laki itu tidak sendiri.

Lila berseru, "Wih, gandengannya sekelas Vivian! Pantes aja muka gantengnya selalu cemberut di depan gue. Remah rengginang macem gue bisa apa?"

Bisa gumoh, ngejeledag, keplitek setelah memujinya.

With Luv, Ana [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang