Part 32 | Now or Never

6.1K 1.2K 611
                                    

Now playing: Sheila On 7 - Berhenti Berharap







_______________________________________

If you don't heal what hurt you, you'll bleed on people who didn't cut you.

_______________________________________













TREADMILL merupakan jahanam yang sempurna untuk menemani kesendiriannya. Pace demi pace berlomba menyaingi masalahnya. Sayup-sayup suara serak M. Shadows melantunkan lagu Hail to the King mengoordinir sendi tubuhnya agar menikmati ritme workout pagi itu.

Deo menaikkan tempo larinya.

"Kamu tahu hal apa yang paling saya benci di dunia? Pembohong."

Seharusnya sudah benar. Orang-orang yang berani mempermainkan kepercayaannya tidak pantas Deo toleransi. Di bawah batang hidungnya, ayahnya, Radean, Vivian, Arfan, dan Ana menipunya. Manusia jenis apa yang mampu memaafkan mereka?

"Aku bohong karena enggak dikasih pilihan. Deal with it or suffocate."

Omong kosong! Bohong pun termasuk pilihan. Excuse yang diungkapkan Ana teramat menyedihkan sampai-sampai Deo tertawa acap kali mengingatnya.

Ia mematikan treadmill. Meluruskan kedua lengannya ke matras, tubuhnya terangkat melawan gravitasi. Handstand.

"Sekaya apa pun kamu, status kamu tidak akan bisa menyamai Vivian. Putuskan hubungan kalian dan sadari tempat kamu. Sekali anjing tetaplah anjing, tidak akan berubah menjadi majikan."

"Lo harusnya sadar diri. Teman, sahabat, pendamping hidup, dan kehidupan layak enggak pantes buat keturunan darah kotor macem lo!"

Paras Deo mengetat. Seluruh emosinya mengombak kala kenangan ucapan Pak Danu dan Radean terputar. Begitukah? Mereka membohonginya, memanfaatkannya, lalu berbalik menghinanya ketika mereka telah sukses.

Apakah orang-orang itu saja belum cukup sehingga Ana sengaja ingin menghancurkan kepercayaan Deo sampai jadi debu?

"Deep down, I'm really sorry for all the bad things that happened to you. Rasanya pasti sakit banget ya, D, sampai kamu enggak bisa noleransi pembohong lainnya?"

Tidak, Ana salah. Deo mati rasa, secuil pun rasa sakit tidak ada.

Kakinya kembali memijak lantai. Meraih pull up bar, bobot tubuhnya ditumpukan pada kedua tangan. Secara berkala, sikunya tertekuk dalam tempo pull up yang ia ciptakan.

"Kamu pernah bilang aku harus selesein urusan sama diri sendiri. Sekarang giliran kamu, D. Masa lalu emang enggak bisa dihilangin karena termasuk bagian dari diri kamu, tapi itu bukan alasan kamu lama menetap di kegelapan."

Peluh yang mengaliri buku-buku jarinya menggelincirkan pegangan Deo. Ia terjatuh. Matras menyentuh punggungnya, disusul pinggulnya dalam bunyi gedebuk. Keras, namun tak ada erangan. Matanya hanya dipejamkan rapat-rapat untuk meresapi nyeri yang ditimbulkan. Nyeri yang seharusnya muncul saat para pendusta berengsek itu mengkhianatinya.

"Yo, Borokokok! Lo ngeblokir nomor gue? Gue teleponin berkali-kali enggak nyambung!"

Vokal bernada amarah mengusik kedamaian Deo. Melalui pintu yang terbuka lebar, tubuh tinggi seseorang muncul bersama goodie bag di tangan kanannya. Laki-laki itu menekuk satu lututnya di samping matras tempat Deo berbaring.

With Luv, Ana [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang