Chapter 9 : penyesalan

70 4 5
                                    

~Happy Reading~

Dua pria itu duduk bersila di ruang tengah. Ruangan yang sangat luas dengan karpet tebal yang nyaman. Sayangnya agak berantakan, bungkus makanan berceceran dan beberapa botol bir juga disana. 

Ditatapnya dengan wajah serius layar besar itu.

"Ahhh sial!" Ken memukul lantai dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih setia memegangi console game.

Berbeda dengan Ken, Ale terlihat sangat kegirangan. "Yuhuuu gue menang lagi! Aduh aduh mas Ken kalo nggak bisa main mending pulang aja sana!"

"Gue kali ini cuma ngalah aja, liat aja nanti gue pasti menang," ujar Ken tidak mau kalah

Mereka berdua kemudian menyahut botol bir di depannya dan meneguknya.

"Gev mau main nggak?" Ken melepaskan console game itu lalu berdiri dari tempat nya dan berjalan menuju sofa dibelakangnya.

"Nggak, kalian aja gue dah capek hahah" Geva yang sedari tadi rebahan di sofa kini beranjak. Namun karena kebanyakan minum pria ini tidak bisa berjalan tegak dan hampir jatuh. Untung saja Ken segera menangkap Geva.

"Woi Ale! Bantuin ini!" Teriak Ken agak kesal karena Ale masih saja berkutat dengan game itu.

"Iya iya."

Dengan tertatih mereka membopong Geva yang sudah tak sadarkan diri ke dalam kamarnya.

"Lo berdua nginep sini aja nemenin gue." Ucap Geva dengan mata terpejam dan dengan nada yang sedikit ngelantur.

"Hadehh Gev, rumah sebesar dan semewah dan semegah istana ini yang nempatin cuma lo doang? Gila! kalo boleh si gue tinggal disini aja selamanya gapapa sumpah gue nemenin lo terus."

"Yee ngelunjak ya lo!" Ken memukul ringan kepala Ale yang membuat Ale mengelus-elus kepalanya.

****

Sementara itu, di balkon kamarnya Ariel sedang menikmati pemandangan jalan raya yang sudah lumayan sepi karena jam menunjukkan hampir pukul sembilan malam.

Sambil senyum-senyum sendiri ia mendengarkan suara kekasihnya di telepon.

"Bye Noah!"
Akhirnya setelah satu jam lebih percakapan di telepon itu berakhir.

Ariel menghela napas. Ia kemudian melangkahkan kakinya menuju ke dalam kamarnya. Dua menit kemudian Ariel sudah berada di meja belajarnya. Berkutik dengan buku pelajarannya.

Namun entah mengapa pikiran nya tidak bisa fokus. Pikiran itu kembali menggerogoti otaknya. Ia kembali teringat kejadian tadi pagi.

"Siapa sih Geva? Kenapa kak Titania ngebet banget pengen jadian sama dia? Seganteng apa sih cowo itu?"

"Coba cari akun Instagram nya kali ya?"

Ia masih setia menatap layar ponselnya. Jari lentiknya terlihat lihai memainkan ponsel itu. Meng-scroll layar ponselnya ke atas dan kebawah.

Sampai ia menemukan sebuah akun bernama gevanio.adn
Akun dengan tujuh ribu followers dan hanya ada satu postingan disana.

Foto pria itu saat bermain basket mengenakan baju dengan nomor punggung 07. Namun tidak terlihat dengan jelas wajahnya karena pria itu membelakangi kamera.

Ia meletakkan ponselnya di meja. Ia menggigit kecil ujung kukunya. Geram.

"Gimana ya caranya buat dua orang saling jatuh cinta?"

"Harusnya aku nggak usah terima permintaan dari Titania dan gengnya itu."

"Harusnya tuh aku mikir dulu sebelum jawab, jangan main iya iya aja."

"Ih jadi pusing sendiri kan?!"

Ariel membenturkan dahinya pada meja, berkali-kali mengerang, mengusak air mukanya kasar. Mendesah. Menggerutu. Frustasi.

"Bego, bego, begooo!"

"Aaarrrghh!!!"

Tok tok tok..

Ariel menoleh ke arah pintu. Pintu itu sudah terbuka sejak tadi. Matanya melotot. Dilihatnya Aaron tengah berdiri di sana. Sejak kapan kakaknya berdiri di sana?

Mereka hanya saling menatap dalam beberapa detik yang canggung. Mungkin adiknya ini sudah gila. Pikir Aaron.

Aaron berdehem, "Kita di suruh papa turun ke bawah, ada yang mau diomongin."

"I-iya kak."

Ariel kembali mengacak-acak rambutnya ketika Aaron sudah menghilang dari pandangannya. Astaga! Memalukan sekali!

****

"Jadi papa mau ke Surabaya?"

Richard mengangguk, "kalian bisa jaga diri kan? Kalo soal uang nanti papa transfer, oke?"

Ariel mengangguk pelan. Sebenarnya ia sangat berat jika harus ditinggal. Tapi bagaimana lagi.

"Papa sampe kapan di Surabaya?" Tanya Aaron dengan suara beratnya.

"Papa juga belum tahu, mungkin 2-3 bulan sampai kerjaan papa selesai."

Richard merogoh sesuatu di dalam sakunya "Ini kunci mobil papa Aaron yang pegang. Dan mulai besok Ariel berangkat sekolah bareng sama Aaron."

"Tapi pah-" Aaron nampak tidak setuju dengan keputusan ayahnya itu.

"Sudah ya, papa mau beres beres dulu," ujar Richard sembari beranjak dari sofa dan berjalan pelan.

"Pah! Ariel bantuin ya?" Ariel berlari kecil menghampiri ayahnya dan hanya dibalas anggukan dari sang ayah.

Aaron hanya menatap punggung mereka dengan sinis, "Dih, caper banget."

***

Hillow hilloww!👋
See you on the next chapter!
Karena ini liburr jadi aku bakal sering upload yeayy
Semoga kalian suka sama ceritanya
Vote + comment-nya dongg jangan lupa XOXO💖💋🌹

GEVARIEL [ON GOING]Where stories live. Discover now