37. •Masa lalu•

52K 4.1K 126
                                    

“Gue nggak tau lagi harus apa, Jas. Gue nggak pernah mau buat ninggalin lo.” Dialog Aleo, seperti benar-benar berbicara pada Jasmine yang normal, padahal nyatanya, perempuan itu masih terbaring koma tak sadarkan diri.

Alat-alat medis, mesin monitor yang terus menyala, dan tubuh seorang perempuan berkerudung putih dengan wajahnya yang pucat.

Masih terngiang pertanyaan yang tak kunjung ada jawabannya itu. Kapan Jasmine akan sadar?

“Lo tau, kejadian waktu gue ngebentak lo pertama kali? Itu bukan yang pertama kali gue ketemu sama lo. Gue orang yang selalu ngeliat lo, pas lo duduk sendirian di kantin sekolah karena nggak punya temen. Gue orang yang selalu bodo amat, waktu ngeliat lo dibully sama temen-temen seangkatan gue, dan itu karena lo yang cari masalah duluan sama mereka.”

“Gue nggak pernah bilang kalau semua perlakuan lo salah Jas, tapi gue nggak suka, waktu lo harus ngorbanin diri lo sendiri cuman buat orang lain, dan pada akhirnya lo juga yang kena masalah itu.” Dialog Aleo dengan panjang lebar.

Aleo ingat, ketika dulu, saat ia masih menginjak kelas sebelas, dan Jasmine masih berada di kelas sepuluh.

Entah takdir atau apa, Aleo selalu saja bertemu Jasmine dengan keadaan perempuan itu yang sendirian. Duduk seorang diri di pojok kantin dengan kotak bekal berwarna merah. Tampilannya sederhana, tidak mencolok dan tidak terlalu populer, tetapi entah kenapa, mata Aleo terus tertuju dan memperhatikannya.

Aleo ingat, saat dimana teman-teman yang masih sepergaulan dengan  Olivia, sedang membully Jasmine kala itu.

Hari itu, tiga orang gadis mendatangi seorang perempuan yang tengah duduk dan hendak menyantap bekal yang dibawanya, namun sebelum sesendok nasi masuk ke dalam mulut sang gadis berjilbab putih itu, ketiga perempuan tadi sudah melempar kotak bekal itu.

Gadis berjilbab putih itu terkejut bukan main. Nasinya sudah berserakan di lantai kantin, berhamburan, hingga tak tersisa di kotak bekalnya.

“Sialan lo! Lo mau caper ya sama buk BK!!? Lo kan yang ngelaporin kita!?” Semprot salah satu gadis dengan rambut sedikit keriting.

“Maksud kakak apa?” Tanya gadis berjilbab itu tak mengerti.

“Halah! Pura-pura lagi lo! Lo satu-satunya orang yang ngeliat kita waktu lagi mukulin si Aliza!” Timpal gadis lainnya yang menggunakan bandana ungu.

“Iya! Lo pasti tau kan Aliza? Nggak mungkin lo nggak tau sialan!!”

Gadis berkerudung putih itu mulai berkaca-kaca saat tiba-tiba kerudungnya ditarik begitu saja. Dan dengan sekuat tenaga ia menahannya agar tidak terlepas.

Plak!

“Makan tuh! Gue kena D.O gegara lo! Rasain akibatnya.” Kata mereka dengan marah sembari terus memukuli gadis itu hingga wajahnya sudah tidak karuan lagi.

Keadaan saat itu sudah sangat memanas, tidak ada yang berniat membantunya, karena tahu siapa ketiga gadis itu. Bahkan satupun laki-laki tidak ada yang berani mengusik, ketiga gadis itu mempunyai pacar, dan pacarnya pun bukan orang yang sembarangan.

Namun berbeda dengan laki-laki yang sedang berjalan ke arah mereka. Laki-laki itu adalah Aleo, pemuda yang pendiam, namun bukan berarti dia culun. Dia yang diam, hanya memperhatikan. Sebelumnya Aleo tidak peduli sedang apa dan apa yang ketiga gadis itu lakukan, namun ia merasa terusik, hingga selera makannya hilang.

“Jangan ganggu dia. Lo bertiga berisik.” Ucapnya dengan sorot mata elangnya.

“Apaan si-” ujar perempuan berambut keriting, namun melihat siapa yang berucap, ketiga gadis itu langsung menahan nafas.

Meski Aleo baru berada di kelas sebelas, dia tidak pernah takut pada anak kelas dua belas apalagi kelas sepuluh. Kekuatan tidak diukur dari usia, melainkan dari kemampuan. Dan Aleo tidak perlu takut pada pacar ketiga gadis itu yang usianya diatas Aleo, karena mereka hanya mengandalkan suara tinggi dengan wajah yang sangar, padahal kemampuannya jauh dibawah Aleo.

“Lo, bangun. Kasihanin diri lo dulu, baru orang lain.” Ucapnya, lalu berjalan pergi dari sana, tanpa tahu bagaimana tidak karuannya wajah gadis itu.

Dan dari sini Aleo sadar, bahwa semua ini adalah takdir. Bagaimana Tuhan punya banyak cara mempertemukannya dengan Jasmine. Perempuan yang mau menerima dan mengerti semua hal yang Aleo suka ataupun tidak.

“Gue harus gimana Jas?”

××××××××

“Aleo!” Aleo yang baru saja selesai melaksanakan sholat Dzuhur di salah satu masjid dekat rumah sakit, langsung menatap malas ke arah pria paruh baya yang sedang memanggilnya.

Lelaki itu duduk di salah satu anak tangga dan mulai mengenakan sepatu ketsnya.

Setelah ini, Aleo hendak pergi untuk kembali menunggu Jasmine, pemuda itu tidak pernah sekalipun meninggalkan Jasmine, kecuali jika ia harus beristirahat sebentar dan melaksanakan sholat. Kantung mata Aleo terlihat sudah menghitam, ia tidur hanya beberapa jam dan itupun tidak lama. Semuanya bisa Aleo lakukan, apapun itu untuk kesembuhan Jasmine, walau ia tak pernah memperhatikan dirinya sendiri.

Bara duduk disamping putranya itu, dengan tatapan penuh pinta. Bara sangat berharap Aleo bisa dibujuk, meski sulit. Aleo merupakan tipe yang berpendirian teguh, jika satu hal sudah sangat ia minati, maka hal itu tidak akan pernah terlepas dari genggamannya.

“Mari kita bicara sebentar disini, papah minta sedikit waktumu Aleo, hanya sebentar.” Pinta Bara.

Aleo pun terlihat menghela nafas dan berakhir dengan pasrah, jarang-jarang ia bisa berbicara dengan ayahnya seperti ini.

“Papah tau Aleo, dulu papah salah dengan selalu menomor satukan soal pekerjaan dan perusahaan, tapi papah melakukan itu semua karena kakek kamu yang sudah membangun perusahaan itu dari nol. Papah hanya takut, kalau suatu saat, malah tangan papah sendiri yang akan menjatuhkan perusahaan itu.”

“Tapi sekarang papah sadar, setelah almarhumah mamah kamu sudah pergi. Perusahaan itu masih bisa papah bangun kembali, tapi mamah kamu....”

Aleo tertawa tak percaya.

Yang dikatakan orang memang benar, penyesalan selalu berada di akhir. Terkadang suatu pilihan, di pilih karena hal itu yang nampak lebih baik, namun sebenarnya, semua pilihan, mempunyai penyesalannya sendiri, semua tergantung bagaimana kita dalam menyikapinya.

Aleo berandai. Jika dulu, jika ayahnya tidak sesibuk itu, maka ibunya akan baik-baik saja. Namun, takdir tetap takdir, ibunya akan tetap pergi, walaupun waktu kembali terulang. Penyesalan akan tetap jadi penyesalan yang tak berujung, jika kita terlalu menyalahkan diri sendiri.

“Aleo, papah tau kamu akan menolak keputusan ini. Tapi papah berjanji, papah akan selalu menjaga Jasmine. Kamu hanya perlu pergi sebentar, setelah kamu benar-benar sukses disana, kembalilah kesini. Dan kamu bisa bebas, hidup seperti yang kamu mau.” Pinta Bara memohon.

“Kamu sekarang sangat mencintai Jasmine, sampai-sampai tidak mau meninggalkan dia. Kamu boleh mengutamakan Jasmine, tapi jangan korbankan masa depan kamu juga Aleo. Jasmine juga pasti menginginkan hal yang terbaik untuk kamu Aleo.” Aleo menatap wajah Bara yang nampak sangat menginginkannya pergi.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

“Aleo bakalan pertimbangin, kasih Aleo waktu.”

××××××××

Menurut kalian, Aleo bakalan pergi gak ya?

Vote dan komen buat lanjut!!

Jasmine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang