7. •Hal Tak Terduga•

83K 8K 172
                                    

Jasmine menenggelamkan wajahnya dalam tekukan lututnya. Ia tidak ingin ini terjadi, hidupnya hancur begitu saja dalam satu malam yang sangat ia benci.

Kalau saja dia tidak lemah saat itu, ia masih bisa melawan Aleo. Tapi tenaga laki-laki itu begitu besar, nafsunya menyeruak, setan dalam dirinya mengalahkan semuanya.

Malam yang sangat membuatnya malu seumur hidup. Apa yang akan ia katakan pada ayah dan ibunya?

Ia mendongak menatap testpack dengan garis yang menunjukkan hasil positif. Dia menangis kencang. Makan yang tidak teratur, mual, wajah yang pucat, dan demam yang belum hilang, sungguh tubuhnya benar-benar ingin remuk seketika.

Apa yang harus ia katakan pada Roni? Tidak! Dia harus segera membicarakan ini pada Aleo.

××××××××

“A-aku ha-hamil.” Ucap Jasmine bergemetaran.

Aleo yang mendengar itu lantas mencengkram lengan Jasmine kuat. “Lo ngomong apa!?” tanya Aleo dengan marah.

Mereka tengah berada di dalam mobil milik Aleo. Setelah pulang sekolah, Jasmine menemui laki-laki itu dan mengajaknya berbicara. Aleo hanya mengangguk menuruti, mereka pun bertemu di parkiran dan Aleo mengajaknya ke suatu tempat yang jauh dari keramaian.

Jasmine diam dengan derai air mata. Ia menunduk takut, bukan karena Aleo, namun takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Lo bohong kan!?”

“Aku nggak bohong, Aleo! Untuk apa aku bohong! Aku nggak mau punya hubungan apapun sama kamu! Tapi sekarang, cuman kamu satu-satunya harapan aku!” Tutur Jasmine. Meski dia membentak, namun suaranya tetaplah lembut.

Apa yang dikatakan Jasmine membuat Aleo memukul setir dengan keras. Apa yang selama ini ia pikirkan benar-benar terjadi. Laki-laki itu menggeleng keras, dia mengusap wajahnya kasar.

"Jasmine..." panggil laki-laki itu, membuat Jasmine menatap Aleo dengan matanya yang sembab.

"Gugurin janin itu."

Plakk!

Jasmine menamparnya keras, melampiaskan amarahnya yang memuncak. Bagaimana Aleo bisa mengatakan hal itu? Dengan nafas yang berderu, bahu yang naik turun, Jasmine menatap nyalang ke arah Aleo.

"Seharusnya kamu bisa bertanggung jawab Aleo! Dia darah daging kamu! Kamu nggak bisa seenaknya aja, kalau kamu nggak bisa bertanggung jawab, setidaknya jangan pernah nyuruh aku buat gugurin dia!" Balasnya marah. Jasmine menatap wajah Aleo dengan derai air mata.

Perempuan itu menggeleng ia membuka pintu mobil, dan menutupnya dengan keras. Jasmine, pergi meninggalkan Aleo yang sudah benar-benar tidak waras.

Perempuan berjilbab itu sekarang tengah berjalan pelan sembari menyeka air matanya. Ia berjalan jauh, menjauhi mobil Aleo. Ia ingin segera pulang, melupakan apa yang telah terjadi hari ini.

Seketika terlintas nama Viona di dalam benaknya, ia pun segera mengambil ponselnya dan mencari nama kontak gadis itu. Jasmine tidak tahu lagi harus menelpon siapa, dia sudah lelah. Ia lupa jika tadi pagi ia tidak membawa dompet.

Lama telponnya berdering membuat keringat mengucur di dahi perempuan itu. "Jasmine!" teriak seorang laki-laki dari arah belakang. Jasmine yang tahu Aleo mencarinya, membuatnya berjalan pelan menjauhi Aleo.

"Jasmine!" Teriaknya terus memanggil-manggil nama perempuan itu.

"Ayo angkat Viona," Ujar Jasmine panik karena Viona tak kunjung mengangkat teleponnya.

Telepon itu mulai tersambung dan suara Viona terdengar dari benda pipih berukuran kecil itu.

"Assalamualaikum Viona?"

"Waalaikumussalaam, iya kenapa Jasmine?"

"Vi-viona kamu bisa jemput aku nggak di jalan Sudirman?"

"Hah? Lo ngapain disana?"

"Nanti aku jelasin, tapi sekarang kamu bisa kan jemput aku?"

"Iya, tunggu bentar, gue otww!"

"Makasih, Vi. Assalamualaikum.”

"Waalaikumussalaam."

Dengan keberanian yang kecil dan ketakutan yang cukup besar, Jasmine setia ditempatnya, menunggu Viona yang akan datang menjemputnya.

"Jasmine!" Teriak Aleo saat melihat Jasmine berada di dekat jalan raya yang sepi.

Seketika Jasmine yang mendengarnya menoleh dan terkejut saat Aleo sudah berdiri tak jauh dari sana. Ia memandang Jasmine datar dan dingin. Lalu berjalan pelan menuju perempuan berjilbab putih itu.

Jasmine berdiri dengan tangan yang bergetar, kaki yang lemas, dan rasa cemas.

Karena tak ada jalan lain, Jasmine berpura-pura untuk tak melihatnya, ia berbalik dan berjalan cepat menghindari Aleo. Aleo yang melihat itu tak tinggal diam, dia berlari menyusul Jasmine yang nampak menghindari dirinya.

Jasmine yang mendengar derap langkah itu begitu cepat, membuatnya mau tak mau ikut berlari, walau peluh sudah membasahi keningnya.

Karena tak melihatnya, Jasmine terjatuh diatas beton berdebu itu. Lututnya terluka, serta ia memegangi perutnya, untuk melindungi sesuatu yang ada di dalam sana.

"Jasmine!" teriak Aleo melihat Jasmine yang sudah terjatuh itu. Perempuan itu menangis meruntuki dirinya sendiri, kenapa ia harus berlari? Dia takut melukai sesuatu di dalam sana, walau ia juga benci pada dirinya sendiri.

"Kenapa lo lari bodoh!?" Serunya mengangkat tubuh limbung Jasmine.

Jasmine hanya diam sembari menangis, ia tidak ingin menatap wajah laki-laki itu lagi. Seolah terbayang-bayang oleh perilakunya pada malam itu.

Aleo membawanya masuk ke dalam mobil dengan hati-hati. Ia hanya memalingkan wajahnya saat melihat wajah hancur milik Jasmine.

Ia bodoh. Kenapa mereka berakhir seperti ini? Padahal ini bukan hal yang Aleo inginkan.

Saat sampai dimobil, Aleo menatap Jasmine kembali. "Kenapa lo kabur?" tanya Aleo mengintimidasi.

"Terus, buat apa aku masih disini Aleo? Kamu bahkan nggak mau tanggung jawab." Lirih perempuan itu.

"Sekarang gue harus apa?" Jasmine menoleh tak percaya.

"Kamu harus tanggung jawab Aleo, aku nggak mau anak ini tumbuh gitu aja tanpa pertanggung jawaban kamu!"

"Tapi gue nggak bisa," Jasmine menyipitkan matanya, bagaimana laki-laki itu semakin brengsek dihadapannya.

"Gue akan biayain lo dan anak itu seumur hidup. Tapi gue nggak mau nikah sama lo." Tutur laki-laki itu menatap datar Jasmine yang menunduk. Ini tidak adil baginya, juga nyawa lain yang tumbuh di rahimnya. Dia benar-benar kejam. Dia pikir hidupnya dan anaknya itu apa? Hanya sebatas uang?

Jasmine juga tidak mau menghabiskan seumur hidupnya dengan Aleo, tapi siapa lagi yang akan bertanggungjawab jika bukan laki-laki itu sendiri? Ia juga tidak tahu, apakah ayahnya akan menerima dirinya jika seperti ini.

"Aku nggak pernah butuh uang kamu Aleo, aku cuman butuh pertanggungjawaban kamu, tapi ini yang malah aku dapetin. Kamu bener-bener nggak punya hati." Perempuan itu menangis, bulir-bulir air kristal itu menetes deras membasahi pakaiannya.

"Andai semua ini nggak terjadi Aleo, aku nggak mungkin kayak gini," ujarnya pelan menghapus jejak air mata yang membasahi pipinya.

"Lo harus pulang sekarang, bokap lo pasti khawatir."

×××××××

Jasmine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang