9. •Tanggung Jawab•

82.5K 8.2K 394
                                    

Jasmine dengan berat hati menerima ajakan Aleo untuk kembali lagi ke rumah laki-laki itu. Bukan tanpa sebab, Jasmine tidak memiliki siapapun untuk ia ceritakan masalahnya, dan Aleo juga berkata akan bertanggungjawab pada dirinya.

Jasmine tidak percaya, dia sudah terlalu hancur karena Aleo. Ia pikir Aleo akan bertanggung jawab di awal, namun ia malah membuangnya.

“Pake.” Perintah laki-laki itu menyodorkan sebuah selimut tebal dengan handuk kecil. Di tengah Aleo yang sedang mengendarai, dia masih menyempatkan diri memberikan kedua benda itu kepada Jasmine.

Jasmine hanya terdiam sembari menerimanya, dia menatap datar jendela dengan butiran-butiran air hujan yang menempel disitu.

Hening menyelimuti keduanya. Tidak ada perkataan atau suara yang berusaha mencarikan suasana. Hingga hampir dua puluh menit kendaraan itu berjalan di jalanan yang cukup lenggang.

“Turun.” Perintahnya ketika sudah berada di depan rumah besar itu. Aleo sudah turun, ia menunggu Jasmine untuk turun juga, tahu jika perempuan itu mudah limbung, apalagi ia sedang hamil, dan hujan seakan-akan memberi rasa sakit kepada Jasmine.

Apakah Aleo peduli? Tidak. Dia hanya berpikir, disaat seperti inilah ia harus bertanggungjawab, bukannya kabur. Setelah anak itu lahir, ia akan menalak Jasmine, karena menurutnya, dirinya sudah terbebas dari tanggung jawab itu.

Aleo menuntun Jasmine menuju ke kamarnya. Dengan telaten laki-laki itu memerintahkan pelayan untuk menyiapkan air hangat juga pakaian baru untuk Jasmine gunakan.

Saat sampai, perempuan itu duduk di bibir ranjang.

“Gue akan tanggung jawab sama lo. Selanjutnya itu keputusan lo, setelah anak itu lahir, kita tinggal cerai. Untuk sekolah, lo masih boleh sekolah, tapi saat kandungan itu udah tiga bulan, terpaksa lo harus berhenti sekolah.” Jelasnya yang hanya diangguki Jasmine.

“Sekarang mandi dan istirahat, besok lo masih harus  sekolah.”

×××××

Aleo berjalan masuk ke gedung kantor bertingkat itu. Tangannya terangkat mengetuk pintu jati coklat itu dengan pelan, lalu masuk begitu saja.

Dia duduk dihadapan seorang pria paruh baya yang sedang berkutik dengan layar komputernya.

“Ada apa? Tumben kamu baru temuin papah,” ujar pria paruh baya itu, ia menaruh berkas yang ia pegang, dan mencoba fokus berbicara kepada anak semata wayangnya.

Adab jika sedang berbicara.

“Ada sesuatu yang mau Aleo bilang sama papah.” Ucapnya lancar tanpa gugup, lagi pula untuk apa ia gugup, dia tidak takut walau dengan papahnya sekalipun.

Memang definisi anak tidak tahu diri.

“Bilang saja, ada apa?”

“Aleo hamilin cewek.” Ungkapnya sejujur-jujurnya tanpa gugup juga tanpa ada rasa cemas di wajahnya. Raut wajahnya datar tanpa ekspresi.

Mendengar itu jari Bara yang hendak mengambil secangkir kopi, berhenti seketika. “Kamu tidak lupa kan, Aleo? Kamu akan segera bertunangan dengan Olivia?” Tanya ayahnya, menaruh cangkir kopi itu kembali ke atas meja, dan menatap Aleo dengan serius.

“Aleo nggak lupa.” Balasnya membuat Bara menaikkan sebelah alisnya.

“Lalu?”

“Aleo akan tetap nikah sama Jasmine, dan nggak akan tunangan sama Olivia.” Katanya menyebut nama Jasmine.

“Jadi namanya Jasmine? Papah tau apa yang kamu perbuat Aleo, dan itu suatu kesalahan yang besar, dan kamu juga sudah bilang akan mau bertunangan dengan Olivia.”

Jasmine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang