24. •Perpisahan•

68K 6.6K 182
                                    

Perempuan itu mengerjap-erjapkan matanya, kepalanya pusing, matanya buram serta sembab.

Jasmine tertidur diatas brankar rumah sakit. Badannya lemas, perutnya juga kosong sedari tadi karena belum diisi, ia hanya minum segelas susu tadi siang yang sama sekali tidak mengenyangkan perutnya.

Jasmine kembali mengingat apa yang terjadi pada dirinya, ia ingat jika tadi dokter memberitahukannya tentang ayahnya yang sudah pergi untuk selama-lamanya.

Perempuan itu seketika ambruk begitu saja karena saking lelahnya.

Jasmine menutup matanya dengan lengannya. Tanpa suara, matanya mengeluarkan bulir-bulir cairan bening itu. Meski isakannya tak terdengar, namun sesak dalam hatinya sangat luar biasa.

Beberapa hari ini ia tak bertemu ayahnya, namun tiba-tiba saat ia sudah boleh dipertemukan, ayahnya justru malah pergi meninggalkannya.

“Udah bangun?” Tanya seseorang disampingnya yang sangat Jasmine kenal suaranya.

Jasmine diam, menahan sesak yang menyiksanya, air matanya terus luruh begitu saja. Aleo yang menatapnya langsung mengelap air mata itu dari wajah Jasmine.

“Relain apa yang udah pergi.” Nasehat Aleo mengusap kepala Jasmine yang tertutupi jilbab itu. Dia mengetahui rasanya, namun berapa kali pun Aleo mengatakan itu, baik dirinya atau Jasmine pasti sangat sulit menerimanya.

“Aku mau ketemu ayah Aleo.”

××××××

Pihak rumah sakit sudah menguburkan jasad dari ayah Jasmine. Almarhum Roni dimakamkan dengan cepat karena tidak ada lagi pihak keluarga yang akan menjenguknya.

Zera dan Bella pun tak hadir. Mereka hanya hidup berdua, Roni dan Jasmine. Roni memiliki seorang adik, namun naasnya adik laki-laki nya, serta istrinya telah meninggal dunia, menyisakan sepupu satu-satunya yang bernama Yono.

Dan sekarang ayahnya sendirian. Bahkan nasib ayahnya sengsara, karena Zera dengan sifatnya yang buruk membuat tetangga juga menjauhi keluarganya.

Jasmine memeluk nisan itu sembari terus menangis. Walau sudah ditinggal oleh Ibunya, namun tetap saja hatinya tidak rela jika ayahnya juga ikut diambil.

Dia tidak peduli, jika rumahnya harus diambil oleh Zera dan Bella. Yang sekarang ia pedulikan adalah ayahnya.

Sedangkan Aleo hanya menatapnya datar, dia pernah berada di posisi ini, ketika ibunya sendiri mati dihadapannya saat umurnya masih empat belas tahun.

Itu rasanya benar-benar menyakitkan.

Setelah membacakan beberapa doa dan membaca Yasin, Jasmine terdiam di dekat gundukan tanah itu, menangis kecil dengan isakan. Ini sangat menyakitkan, dadanya sesak, dan mau seberapa pun ia berhenti menangis, air mata itu tak akan kunjung berhenti.

Sangat sesak, hingga ia tak bisa berkata apapun lagi.

“Jasmine disini selalu doain kalian. Maafin Jasmine sekali lagi yah, Jasmine pamit. Assalamualaikum.” Untuk terakhir kalinya perempuan itu mencium nisan yang tertulis nama Roni, tak luput ia kembali membacakan doa-doa untuk ayahnya disana.

“Ayo Aleo, kita pulang.” Senyumnya paksa dengan hidung yang memerah dan wajah yang sudah kacau.

Aleo mengangguk, namun sebelum itu ia berjongkok di nisan Roni dan berbisik.

“Saya akan jaga anak anda sebisa mungkin, maaf atas segala kesalahan yang pernah saya perbuat dulu. Saya pamit, Assalamualaikum.”

×××××

“Halo,” Aleo menempelkan benda pipih itu di telinganya, panggilan telepon dari Viko membuatnya yang tadi sibuk mengurus berkas-berkas perusahaan Bara, harus terganggu dengan panggilan telepon dari laki-laki itu.

Jasmine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang