"Aduh Anika mana sih? Katanya ke toilet bentar kok nggak balik-balik sih mau gue suruh nyari batu juga," ucap Anara membuat kening Gista berkerut.

"Batu? Buat apaan?"

"Buat lo lah. Katanya batu itu bisa buat kita nahan kebelet," ujarnya celingak-celinguk mencari keberadaan Anika.

Gista membulatkan matanya ketika ia kelepasan kentut. Beruntung suaranya sangat lirih dan duduknya di berada di pinggir sehingga tidak ada yang menyadarinya.

Karena sudah tidak kuat lagi menahan keinginannya untuk membuang hajat. Gista segera berdiri dia harus ke toilet sekarang kalau tidak ingin mendapati kejadian memalukan semisal boker di celana.

"Lo tunggu sini aja, Ra," ucapnya seraya berjalan cepat menuju toilet di lantai satu.

Setelah tiga kali ia urung membuka pintu karena perutnya kembali mulas. Akhirnya, Gista bisa benar-benar menuntaskan hajatnya. Meskipun sekarang keadaannya sudah sedikit kacau. Keringat dingin membanjiri wajahnya dan make up nya sudah tak se glowing tadi pagi. Akan tetapi, ia punya Anara yang jago make up. Ia bisa meminta pada gadis itu untuk memolesnya sedikit saja agar dandanannya lebih baik.

Meraih kenop pintu dahi Gista mengerut karena pintunya tidak bisa dibuka. Ia memutar kenop itu berkali-kali, tapi hasilnya nihil. Pintunya terkunci.

Gista berusaha membuka pintu itu dengan mendobraknya. Yang ada malah lengannya yang sakit.

"Siapa sih yang iseng kunciin gue," gumamnya memundurkan langkahnya.

"Awas aja kalo ketemu gue masukin ke rumah sakit," gerutunya mulai panik.

Setelah Gista mengambil ancang-ancang. Dia menendang pintu itu menggunakan heels-nya. Sayangnya hal itu tidak berpengaruh apa-apa.

Samar-samar gadis bergaun putih itu mendengar suara cekikikan dari kamar mandi sebelah. Memang saat ia masuk ke toilet tadi. Bilik di sebelah kanan dan kirinya dalam kondisi tertutup semua. Tapi, selama ia berada di dalam toilet ia sama sekali tak mendengar bunyi air.

Merasa familiar dengan suara tawa cekikikan itu Gista mengepalkan tangannya. Jelas ini semua pasti sudah direncanakan. Ia bukan terkunci, tapi sengaja di kunci dari luar.

"Woyy! Sisy! Cerly! Bukain pintunya!" teriak Gista menggedor-gedor pintu kamar mandi.

"Loh lo kok tah sih kalau ada kita di sini, Gis?" tanya Sisy di bilik sebelah berpura-pura kaget.

"Yah, gak asik lo, Gis. Masa kita udah ketahuan sih," imbuh Cerly membuat Gista makin meradang.

Gadis itu menendang kuat pintu di depannya membuat heels-nya retak. "Nggak usah main-main sama gue! Buruan bukain pintunya!"

"WOYY! BUKA!" murka Gista.

"GUE BILANG BUKA YA BUKA!"

Gista menggedor pintu itu dengan keras mengabaikan tangannya yang memerah. Yang ada di dalam pikirannya sekarang hanyalah bagaimana ia bisa keluar dari sini dan segera naik panggung. Ia sudah berjanji, hari ini ia harus menjadi seorang putri.

Seandainya ia tidak mengenakan dress seperti ini mungkin akan dengan mudah memanjat dinding kamar mandi, tapi masalahnya ia tengah mengenakan dress yang harus ia jaga kerapiannya.

"LO PADA PUNYA TELINGA NGGAK SIH?!"

"NAMA GUE UDAH DIPANGGIL GOBLOK!"

Tidak ada sahutan dari bilik sebelah sampai guyuran air dari atas membuat Gista memekik kaget. Ia bahkan sampai terpeleset karena berjengit dan mundur untuk menghindari guyuran dari Sisy dan Cerly melalui bilik sebelah.

Dress yang Gista kenakan kini basah terkena guyuran air. Meski tak sampai basah kuyup. Tapi, tetap saja membuat tampilannya sekarang jadi kacau.

"Ups! Sorry. Kita sengaja," ejek dua gadis di bilik sebalah itu kompak.

Keduanya lalu tertawa merdu seolah apa yang ia lakukan adalah hal yang lucu.

"Bye! Bye! Gista sayaaang," ucap keduanya lalu terdengar suara pintu yang dibuka dan tawa cekikikan yang semakin samar di dengar.

"Arghhh! Lo semua anjing!" umpat Gista dengan mata yang berkaca-kaca. 

Dada Gista kembang kempis. Ia makin panik kala mendengar namanya di panggil. Seketika ia ingat dengan almarhum mamanya yang begitu menginginkan Kanaya untuk menjadi putri sekolah.

Gista kembali menggedor pintu berharap akan ada orang yang menolongnya. "Tolong! Gue kekunci di dalem!"

Di sisi lain Anara yang terkunci di sebuah kelas tak jauh dari kamar mandi juga melakukan hal yang sama dengan Gista. Ia menggedor pintu berharap ada yang membukanya.

Saat akan mencari Gista di kamar mandi tiba-tiba ada dua orang yang menariknya dan mendorongnya ke dalam sebuah kelas yang kini kosong ditinggal penghuninya ke lapangan dan dikunci dari luar. Anara tidak bisa lompat lewat jendela karena selain mengenakan dress dan heels jendela kelas ini juga cukup tinggi membuatnya yang takut akan ketinggian mengurungkan niat untuk keluar lewat jendela.

Di kamar mandi Gista menajamkan pendengarannya mendengar seseorang yang melangkah mendekati biliknya.

"Kak Gista," panggil seseorang yang suaranya sangat Gista kenali.

"Anika," gumamnya.

Gadis bersurai panjang di luar pintu menjawab, "Iya, Kak. Ini aku Anika. Kakak tunggu bentar ya aku lagi bukain pintunya."

Begitu pintu terbuka Anika terkejut melihat penampilan Gista yang kacau.  "Kak," panggilnya.

Gista tidak memedulikan panggilan Anika dan pertanyaan gadis itu mengenai kondisinya. Usai megucapkan terima kasih Gista langsung berlari keluar kamar mandi menuju lapangan.

"Kita hitung sama-sama. Kalau sampai pada hitungan ke tiga finalis atas nama Gistara Arabhita tidak juga naik ke panggung dengan terpaksa Gista akan kami diskualifikasi," ucap sang MC yang membuat Gista makin mempercepat larinya.

"Satu!"

Jantung gadis itu berdegup kencang. Air mata perlahan menetes di pipinya, rasa takut mengecewakan almarhumah mamanya menguasainya saat ini. Bayangan mengenai perbincangannya dulu dengan Wening yang meminta agar ia mengikuti jejak sang kakak terlintas di benaknya.

"Dua!"

Tinggal beberapa meter lagi ia sampai di belakang panggung. Gista semakin mempercepat laju larinya melupakan bahwa ia saat ini tengah memakai heels.

"Tiga!"

"TUNG-akhhh!"

Heels yang Gista kenakan patah membuat gadis itu jatuh tersungkur di paving sebelum sempat ia menyelesaikan ucapannya.

"Finalis atas nama Gistara Arabhita dinyatakan didiskualifikasi."

Hancur sudah harapan Gista untuk bisa menjadi seorang putri sekolah dan memenuhi mimpi mendiang sang mama. Namanya sudah didikualifikasi sebagai finalis. Menyisakan dua orang cewek yang salah satunya nanti akan dipilih sebagai putri sekolah.

Bayangannya menjadi putri sekolah dengan Manggala yang terpilih menjadi putra sekolahnya sirna seketika. Air mata tak henti menetes dari kedua sudut matanya. Dadanya terasa sangat sesak untuk menerima kenyataan menyakitkan ini. Berulang kali ia dihadapkan pada kesakitan dan kesedihan. Kini di saat ia berusaha berdamai dengan semuanya dan mewujudkan impian mamanya ia malah kembali dipatahkan. Apa takdirnya sebercanda itu padanya?

Kenapa ia seolah tidak diberi kesempatan untuk bahagia sekali saja. Kenapa semua hal yang ditakdirkan untuknya hanyalah kesedihan dan kesakitan?

Gista merundukkan kepalanya dalam dengan bahu yang bergetar dan tangan yang terkepal. "Mama. Maafin Gista, Ma."

-----GISTARA-----
Batas antara halu dan nyata

GISTARA (END) Where stories live. Discover now