Surat 1

214 25 8
                                    

(Andam's PoV)
*
*
*

Juli 2010

Aku terbangun oleh aroma nasi goreng Ayah. Setelah merapikan ranjang, aku membuka jendela. Aroma rumput basah langsung menyerbu indra pembau. Udara pukul lima lebih dua puluh menit pagi memang sejuk tiada tara. Meski langit masih temaram, tidak menyurutkanku untuk segera membuka jendela.

Hal lumrah bagi kami untuk membuka jendela dan membiarkan sejuk udara pagi merangsek masuk sejak pukul lima lebih dua puluh menit. Bukan saja rumah ini, rumah di sebelah kanan, kiri, bahkan di seberang jalan depan pun melakukan hal yang sama. Bagi kami penghuni Gang Purnama II, membiarkan udara pagi memenuhi ruangan dalam rumah adalah hal yang tak boleh dilewatkan.

"Andam, sarapannya sudah siap!" Ayah memanggil.

Aku bergegas meraih set seragam dari lemari, tidak lupa membawa handuk untuk kemudian ke kamar mandi yang letaknya di bagian paling belakang rumah. Ayah memang tidak mengkhususkan pembuatan kamar mandi untuk per kamar. Selain menguras dana, tidak bagus juga menjadikan kamar tidur dengan kamar mandi dalam satu area.

Selesai membersihkan diri, aku segera menghadap meja makan. Ayah sudah duduk di sana sambil menyeruput teh dan membaca koran harian yang diantar pukul setengah enam kurang.

"Lagi heboh berita apa, Yah?" tanyaku di sela-sela menyendok gundukan nasi goreng dalam wadah kaca bening. Aromanya sukses membuat perutku keroncongan sepagi ini. Tidak lupa, tambahan telur ceplok dan irisan kubis memenuhi piring sarapan.

"Enggak jauh-jauh dari kasus korupsi para dewan rakyat." Ayah melipat kembali koran lalu meletakkannya di atas meja. Diraihnya piring yang tertelungkup lalu ikut menyendoki sisa nasi goreng. Tanpa telur karena Ayah alergi telur dan hanya menambahi dengan irisan kubis.

"Capek kalau memperhatikan kasus anggota dewan, Yah." Aku menanggapi di sela-sela suapan.

"Politik, ya, begitu. Sukar dimengerti." Ayah menyeruput gelas bening yang mengepulkan aroma teh melati.

"Kalau kata Bu Mada, guru IPS Andam saat SMP, dunia politik jauh lebih sulit daripada pergerakan ekonomi." Suapan terakhir masuk disusul seruputan teh manis hangat. "Kubisnya mau dihabisin enggak, Yah?"

"Simpan aja di belakang. Ayah udah cukup segini."

Aku beranjak membawa piring bekas makan dan sisa kubis ke belakang. Setelah menyimpan sisa kubis ke dalam kotak dan memasukkannya ke lemari pendingin, aku mencuci piring bekas sarapan. Ternyata, di dalam wastafel sudah menumpuk wajan dan spatula kotor. Tumben Ayah tidak langsung membersihkannya.

"Ayah lagi males cuci piring. Kamu aja, ya?"

Aku menengok ke arahnya yang baru saja meletakkan piring kotor susulan dan gelas bekas teh. Sebelah mata lelaki itu mengedip.

"Tambahin uang saku, loh." Aku meraih spon pencuci dan mulai melumuri setiap permukaan alat makan dan dapur yang kotor.

"Beres." Ayah mengacak rambutku yang hari ini memilih untuk dikepang satu. "Nanti Ayah taruh uang sakunya di atas meja makan. Ayah langsung berangkat, ya. Hari ini ada barang baru yang datang." Ayah meraih salah satu botol minum dari lemari pendingin sebelum bergegas keluar.

Pantas saja beliau meninggalkan kesemrawutan dapur pagi kepadaku. Sesekali memang Ayah harus berangkat lebih pagi karena barang baru untuk toko Ayah selalu datang sangat pagi.

O, ya. Kalau kalian ingin tahu, Ayah adalah pemilik kios tanaman hias yang cukup terkenal di kecamatan kami tinggal. Bahkan mungkin, Ayah adalah satu-satunya penjual tanaman hias di kecamatan kami. Seluruh penghuni di Gang Purnama II mengenal Ayah, mengenal keluarga kami. Kepopuleran Ayah cukup menguntungkan. Beberapa tetangga baik hati suka sekali memberi secara cuma-cuma beragam item kebutuhan rumah tangga. Misal saja, keluarga Pak RT yang tidak pernah absen memberikan sepuluh kilogram beras ketika beliau selesai panen. Ada juga Bude Mita yang sesekali memberikan beberapa sayur segar dan lauk-pauk siap masak. Lalu, ada Tante Dewi yang suka mengirim lontong sayur di hari Sabtu dan Minggu.

Leaf LetterWhere stories live. Discover now