Surat 37

65 11 0
                                    


(Andam's PoV)
*
*
*


Angin bulan Februari bergerak menerbangkan helai-helai rambutku dan Kanala yang terlepas dari ikatan. Di langit bagian utara, mendung kembali berkumpul, menciptakan gulungan-gulungan awan berwarna abu yang dalam hitungan kurang dari dua jam akan semakin pekat. Meski entah akan turun hujan atau tidak mengingat kecepatan angin sore ini lumayan kencang.

"Tiga bulanan lagi, kita akan menghadapi Ujian Nasional." Ada helaan penuh beban yang terdengar setelah Kanala berceloteh.

"Tiga bulan lagi, hasil belajar kita selama tiga tahun dipertaruhkan oleh empat hari." Aku mencomot kue cokelat kacang dari stoples dalam dekapan Kanala.

Cokelat kacang buatan Ibu yang membuat Kanala dan Duo Tiang Listrik semakin betah menghabiskan sore di rumah kami. Selain cokelat kacang, Ibu juga membuat kastangel--yang sekarang ada dalam dekapan Yodha--dan rempeyek kacang tanah--yang berada dalam dekapan Gema.

Usai belajar bersama beberapa jam lalu, kami memutuskan nangkring di pohon mangga harumanis di sudut samping rumah. Februari belum waktunya mereka berbuah. Jadi, yang terlihat hanya helai-helai daun muda maupun tua. Biasanya, pembungaan baru akan terlihat sekitar bulan Juni.

"Setelah ini, kalian akan lanjut ke mana?" Kanala menengok ke arahku, juga Yodha dan Gema yang posisinya berada di atas, sedikit ke kiri--untuk Yodha--dan kanan--untuk Gema.

"Kuliah. Sudah jelas, to?" Di sela-sela mengunyah rempeyek, Gema menjawab.

"Satu jawaban dengan Gema." Yodha menimpali.

"Maksudku, ke mana? Ke universitas mana?" Dengkusan terdengar dari Kanala.

"Masih mikir-mikir." Yodha menyahut.

Remahan kastangel di tangan Yodha meluncur ke pangkuanku.

"Andam?" Kanala menoleh kepadaku.

Aku mengangkat bahu. Masih memikirkan pula ingin lanjut ke universitas mana. "Yang jelas, jurusan yang ingin aku ambil enggak jauh-jauh dari dunia pertanaman. Mungkin konservasi sumber daya hutan dan ekowisata bisa jadi pilihan."

Ya, sejak dimulainya semester genap untuk kelas XII, aku sudah membidik beberapa jurusan di beberapa universitas untuk aku pertimbangkan. Mungkin tidak akan jauh-jauh dari dunia pertanaman atau pertanian: agrobisnis, agroekoteknologi, ilmu tanah, atau yang lainnya. Intinya, aku ingin bisa mengembangkan hobi berkebunku untuk sesuatu yang menghasilkan uang.

Aroma bakwan udang samar-samar tercium dari pintu teras samping yang terbuka. Sepertinya, Ibu sedang berkutat di dapur untuk menyajikan kudapan sore. Ya, semenjak beliau tahu aku memiliki geng yang memang suka nongkrong di rumah ini, hampir setiap kali mereka bertandang, Ibu akan membuatkan kudapan apa saja. Dari yang manis sampai gurih. Dari kue kering sampai roti. Apa pun yang kemudian membuat ketiga anak manusia ini begitu nyaman berlama-lama di rumah kami.

"Ada yang mau bakwan udang?" Ibu berseru di ambang pintu samping.

"Mau!" Kanala meloncat turun duluan. Dia berlarian sepanjang halaman menghampiri Ibu.

Aku menyusul, Yodha berikutnya, lalu terakhir Gema. Meski akulah peserta terakhir yang duduk menghadap sepiring penuh bakwan udang dengan sambal khas buatan rumah ini--sambal yang tidak cuma dijadikan cocolan bakwan udang, tetapi bisa untuk pisang goreng juga.

Decak-decak kelezatan terdengar di antara embus angin sore. Ibu sampai geleng-geleng melihat tiga anak manusia yang saling berebut kudapan tersebut.

"Itu banyak, loh. Enggak usah pada berebut." Tepukannya mampir di bahu Yodha yang sedang adu tatap memperebutkan sebilah bakwan udang dengan Kanala.

Leaf LetterWhere stories live. Discover now