Surat 39

66 10 0
                                    


(Andam's PoV)
*
*
*


"Becandaan Ayah sama Ibu enggak lucu." Aku masih tak ingin memercayai apa yang baru saja mereka katakan.

Apa katanya? Bercerai? Omong kosong! Astaga! Sama sekali tidak terlihat mereka saling membenci. Bagaimana mungkin mereka bercerai?

"Andam, Ibu tahu ini mengejutkanmu. Apa yang kamu dengar tadi, apa yang Ibu katakan tadi, bukanlah sebuah kebohongan. Kami sudah bercerai."

Aku buru-buru berdiri. Tak ingin mendengar lebih banyak lagi lelucon tak lucu dari mereka. Langkahku keluar rumah. Berjalan ke sembarang arah. Tidak! Pada detik kesekian, aku berlari. Berlarian di antara gelap karena malam sudah melumat kota di mana kami tinggal.

Aku tak tahu hendak ke mana. Yang jelas, aku hanya ingin pergi sementara waktu. Tidak ingin melihat Ayah. Tidak ingin melihat Ibu.

Astaga! Bercerai? Mereka? Bohong, 'kan? Orang yang saling mencintai bagaimana bisa bercerai? Siapa yang menggugat? Masa bodo siapa yang menggugat. Perceraian tak seharusnya ada dalam kamus rumah tangga mereka.

Mereka masih saling mencintai, 'kan? Masih, 'kan? Aku masih melihat nyala kasih mereka di mata masing-masing. Lantas, kenapa mereka bercerai? Siapa yang berbuat salah? Siapa yang sudah berkhianat? Orang ketiga? Siapa? Ayah? Tak mungkin. Ayah adalah lelaki paling setia yang pernah aku temui. Ibu? Jangan gila! Ibu sangat mencintai Ayah. Tidak mungkin beliau mencintai lelaki lain.

Langkahku terhenti. Setengah membungkuk aku mengatur napas yang tersengal. Aku hanya melihat satu bangunan tua dua lantai yang beberapa waktu lalu kukunjungi bersama Gema. Tempat paling sunyi. Benar. Tubuhku tahu ke mana harus melangkah dan menyembunyikan diri.

Tak ada senter. Ponsel pun kutinggal di kamar. Harus hati-hati melangkah saat melewati padang rumput yang lumayan tinggi. Hal yang kungerikan adalah menginjak hewan melata berbisa di bawah sana. Semoga saja tidak. Semoga saja aku hanya menginjak hewan amfibi yang sedang mencari pakan. Denging nyamuk terdengar memenuhi telinga. Laron-laron pun berkelebat ke sana kemari mencari cahaya. Santapan lezat untuk para katak dan kodok, 'kan?

Dengan memasang waspada tingkat tinggi, aku menaiki satu per satu anak tangga untuk mencapai rooftop. Hantu bukanlah yang kukhawatirkan. Lebih mengerikan adalah makhluk hidup bernama manusia jahat yang membawa senjata tajam untuk alat menakut-nakuti mangsa yang biasanya bersembunyi di gedung-gedung tua sebelum melancarkan aksi. Meski, aku yakin bangunan ini cukup aman. Tak pernah kudengar kabar kalau ada maling atau begal yang bersembunyi di sini atau menjadikan tempat ini sebagai basecamp mereka.

Tiba di rooftop, aku menghela napas. Satu, karena lega tak menemukan kendala apa pun. Dua, karena lelah setelah berlarian lalu lanjut menaiki anak tangga yang kuhitung berjumlah tiga puluh lima. Cukup tinggi, bukan?

Purnama menggantung nyaman di atas sana. Jarum-jarum awan tak tampak satu pun yang menghalangi sinar satelit Bumi yang hanya satu-satunya itu. Arah pandangku tertuju ke bintang paling terang di langit. Jika ingin dibahasakan, malam ini sangatlah indah. Langit cerah. Gemintang berkelip ramai di sana. Purnama pun tak tersapu kelebat-kelebat awan. Mendung sama sekali tak tampak. Sayangnya, semua runyam jika mengingat takdir yang baru saja menyapaku.

Perceraian Ayah dan Ibu. Dua puluh tahun mereka sudah hidup bersama, bagaimana bisa memutuskan bercerai? Ya Tuhan, ini mimpi paling buruk yang pernah mampir di hidupku.

Aku beringsut, berpindah agak ke belakang untuk bersandar ke dinding rooftop. Membayangkan bahwa Ibu dan Ayah tak akan lagi serumah membuat bulir-bulir di kedua sudut mataku menyembul. Ibu akan ke mana setelah bercerai? Atau Ayah yang akan keluar dari rumah itu? Bagaimana denganku? Aku harus ikut siapa?

Leaf LetterWhere stories live. Discover now