Surat Daun Spesial

38 5 21
                                    

Saat ini, hal paling menyenangkan di mata Gema adalah setiap ekspresi yang ditampilkan wanita keturunan Jawa-Belanda-Cina itu. Kerjapan sepasang mata sipit berbingkai lensa minus kala menemukan lapak penjual bihun jambak sangatlah menggemaskan. Layaknya bocah TK yang berhasil menemukan makanan favoritnya.

Tak hanya penjual bihun jambak yang disatroni wanita itu. Bakso bakar, tahu krispi, cilor, tidak lupa satu gelas besar es susu dengan topping jeli beragam warna. Seolah tak ada kamus diet mengingat wanita-wanita seusianya sangatlah ketat dalam mengatur pola makan.

Tak masalah. Dia tak pernah mempermasalahkan bobot wanita yang akan menjadi pendampingnya dalam beberapa bulan ke depan. Sekalipun wanita blasteran Jawa-Cina-Belanda itu menggemuk seperti banana boat--seperti yang terjadi pula kepada kawan wanita mereka saat ini, dia akan tetap menerimanya. Akan tetap mencintainya. Karena sejak awal, cinta yang tumbuh di dadanya bukan tentang seberapa proporsional tubuh wanita itu. Cinta untuk wanita bernama lengkap Andamuthi Cakralian adalah perasaan yang tumbuh begitu saja sejak pertemuan pertama mereka. Ah, tidak. Hanya dia yang menemukan seorang Andam. Gadis yang berbaris di sebelahnya saat kelas X dulu, sedangkan yang bersangkutan justru tidak menyadari.

Cuek. Begitulah Andam yang dia temui pada hari itu.

"Gema, mau ini?" Diacungkannya sebungkus bakso bakar.

"Aku bisa nolak?"

"Enggak." Tawanya berderai kala pria yang sejak tadi menjaga jarak demi memperhatikan tingkah polanya mulai mendekat. "Enggak adil kalau cuma aku yang jajan. Aku kan enggak mau gendut sendirian."

"Enggak mungkin juga aku cuma bengong sambil liatin kamu makan. Sedih amat."

Begitulah. Masing-masing dua bungkus setiap jenis jajanan yang dibeli Andam. Akan mereka habiskan sembari menaiki bianglala. Sengaja Gema membeli beberapa tiket untuk beberapa putaran.

Di kejauhan, mungkin beberapa ratus meter dari lokasi pasar malam, entah siapa yang suka rela menggelontorkan rupiah, pijar demi pijar bunga api menghias langit malam. Menyemarakkan suasana. Memeriahkan malam cerah setelah beberapa malam sebelumnya diguyur hujan berjam-jam.

"Enggak bisa lihat bintang."

Gemas sekali rasanya Gema saat melihat wajah memberengut Andam. Belakangan, wanita itu memang mulai tak sungkan bersikap. Terkadang sangat dewasa. Satu-dua kali seperti kanak-kanak dan Gema sangat menikmati apa pun yang diperlihatkan Andam.

"Mana bisa lihat bintang di sini. Di mana-mana lampu. Polusi cahaya."

"Bangunan tua juga udah enggak ada. Kita udah enggak punya tempat nonton bintang, Gem."

Seringai muncul di wajah Gema. "Ada, kok. Kita masih punya tempat rahasia untuk nonton bintang."

"Di mana?"

Seringai misterius Gema semakin lebar.

***

Andam buta arah. Tidak tahu ke mana Gema melajukan kendaraan. Yang dia sadari adalah mereka memasuki kawasan sepi penduduk. Dalam remang lampu perumahan, mereka melewati rumah-rumah bergaya sederhana dengan jarak antara satu rumah dengan rumah lain cukup jauh. Sementara masing-masing rumah memiliki petak kebun dengan berbagai jenis tanaman. Mulai dari rempah, bunga, sampai buah.

Dia tak banyak bertanya meski sangat ingin. Membiarkan saja Gema membawanya entah ke mana. Dia hanya yakin bahwa mereka akan tiba ke tempat di mana hobi lama bisa tersalurkan.

Area yang mereka lewati kian menggelap. Bahkan tidak lagi ditemui perumahan. Hanya persawahan atau ladang. Samar dari jarak seratusan meter, Andam bisa melihat gundukan besar.

Leaf LetterWhere stories live. Discover now