Surat 21

73 10 0
                                    

(Andam's PoV)
*
*
*

Kuhirup dalam-dalam aroma embun pagi saat membuka jendela kamar. Hujan yang mengguyur semalam sukses menjernihkan udara. Aroma tanah basah pun tak mau kalah menyombongkan diri kepada dunia.

Gerombolan melati kosta dan tuscany tersenyum ramah dengan bulir-bulir air menempeli setiap daun dan mahkota. Aroma manis datang dari sudut halaman depan yang tidak lain berasal dari mangga-mangga harumanis siap panen. Hm, mungkin nanti aku minta bantuan Kanala dan Duo Tiang Listrik saja untuk mengambili mangga-mangga yang sudah matang.

Udara berganti aroma ayam goreng. Ah, Pak Cakra-ku memang paling tahu bagaimana membangkitkan nafsu makan pagi anak satu-satunya. Aku bergegas ke meja makan untuk mengecek sarapan hari ini. Tetap membiarkan jendela terbuka, seperti biasanya.

Ayah sedang menghadapi kompor. Dari aroma yang terhirup, sepertinya bukan cuma ayam goreng. Aku melongok dari balik tubuh Ayah. Beliau sedang memanggang tahu bacem. Aih, aih, kalau begini cerita, aku bisa makam dua porsi sekaligus.

"Wih, mantep, nih! Menu sarapan lengkap amat." Aku mencuci tangan lalu beranjak ke rak piring.

"Barangkali ada yang kangen masakan Pak Cakra setelah menginap berhari-hari di luar."

Aku menghentikan langkah tepat di ambang pintu yang menghubungkan dapur dan ruang makan lalu menengok posisi Pak Cakra. Beliau melihatku lalu mengedipkan sebelah mata.

"Di sana pun Andam masak makanan menu di rumah ini." Aku menyiapkan piring makan untuk kami.

"O, ya?"

"Rumah Nenek Samsia seru, deh, Yah. Banyak tanaman di kebunnya. Mereka juga punya kolam lele. Andam kenyang makan lele selama di sana." Rasanya, untuk beberapa minggu ke depan, aku menghindar lebih dulu untuk mengonsumsi makhluk yang satu itu.

"Wah, jadi dimakan enggak kalau nanti Ayah bikin pecel lele? Tadi, Pak RT ngirim beberapa ekor lele soalnya. Mereka baru panen, tuh."

Aku menengok Ayah yang juga menengokku sambil menyeringai. Ya, ampun! Si lele ngefans apa, ya, sama aku?

***

Senyumku merekah saat menemukan selembar surat daun di atas meja. Aku sudah menyerah untuk menemukan pengirimnya. Berkali-kali menunggui lebih pagi agar bisa memergoki, tetapi nihil. Dia sangat lihai menyembunyikan diri.

Hai
Selamat pagi
Selamat kembali ke rumah
Semoga kamu bahagia selalu
Hum ... beberapa hari enggak melihatmu di sana rasanya agak aneh. Aku jadi enggak bisa kirim surat-surat ini. Ya, semoga saja kamu enggak nginep terlalu lama lagi.

Selamat kembali membaca surat-surat dariku.

Mr. Leaf

Terima kasih sudah rajin mengirimiku surat aneh, Mr. Leaf.

Dering bel sepeda Kanala sudah terdengar. Aku bergegas menutup jendela, meraih tas yang tergeletak di atas ranjang, lalu keluar kamar dengan tidak lupa menutup serta menguncinya. Niatnya, karena masih efek lelah akibat Jumbara beberapa hari lalu, maka hari ini aku ingin nebeng sepeda Kanala.

Begitu aku menghampiri mereka, tatapan Kanala memindai kepadaku.

"Kok, enggak bawa sepeda?" Dia bahkan mengernyit dengan galak.

"Nebeng, ya? Masih terlalu capek buat gowes sendiri."

"Dih, suruh siapa ikut Jumbara?" Dia mencebik.

Tidak ada sayang-sayangnya, nih, anak.

"Ayolah! Lagian, baru kali ini aku nebeng bonceng ke kamu."

Leaf LetterWhere stories live. Discover now