Surat 11

93 15 12
                                    

(Andam's PoV)
*
*
*

Sepak bola bapak-bapak sudah berjalan lima belas menit saat aku dan Kanala menyempil di antara puluhan penonton. Tatapanku menyipit untuk memastikan bahwa yang kulihat bukan kesalahan. Duo Tiang listrik memakai jersey yang sama dengan Ayah. Bukannya ini lomba untuk bapak-bapak saja? Lah, dua anak itu sedang apa di sana?

Sepertinya, untuk sepak bola tidak dibatasi harus bapak-bapak saja dalam satu tim. Bisa campuran. Tim lawan pun, yang kulihat, ada beberapa anak muda seumuran Duo Tiang Listrik, salah satunya Bian. O, pantas. Rupanya mereka masih belum puas berduel.

"Ndam, Ndam! Yang itu ganteng, ya?" Kanala menyikut-nyikut lenganku dengan tatapan mengarah ke salah satu pemain lawan.

Seorang cowok seusia Duo Tiang Listrik. Berbadan cukup tinggi, tetapi tidak setinggi Yodha dan Gema. Wajahnya tampak memerah tersengat matahari menjelang senja. Kulitnya putih porselen. Dari garis wajah ... dia seperti keturunan Arab. Memang, sih. Dengar-dengar, dulu daerah sini banyak orang Arab-nya.

Tahulah kontur wajah Arab itu bagaimana. Mata tegas dengan hidung super mancung. Selain itu, alis yang menaungi kedua mata tajamnya sangat tebal.

"Badannya bagus banget. Kekar gitu. Jadi inget Samsul Arif." Kanala terkekeh.

Samsul Arif adalah salah satu pemain Arema FC. Aku dan Kanala memang Singo Edan alias pendukung klub asal Malang yang jarang sekali berada di klasemen rendah dalam Liga Super Indonesia.

"Agak lebih tinggi dia, sih, Kan."

"Iyalah. Gantenglah pokoknya dia."

Aku bisa melihat aura ketertarikan dari gadis di sebelahku yang hanya meringis tanpa dosa.

"Anak mana dia? Kayaknya aku baru lihat."

Kanala mengangkat bahu. "Kalau anak GP IV, enggak mungkin. Enggak ada orang Arab di sana."

GP IV adalah singkatan untuk Gang Purnama IV. Biasanya, kami memang lebih suka menyingkat gang tempat kami tinggal itu.

"Di GP II juga enggak ada." Seingatku tak pernah melihat cowok itu di gang kami.

"Berarti, kalau enggak GP I, ya, GP III."

Aku mengangguk lalu kembali fokus ke permainan. Sampai peluit panjang babak pertama, kedua tim belum mencetak gol. Wah, sama-sama kuat ternyata.

Begitu babak kedua dimulai, tempo permainan berubah. Tim Ayah lebih banyak menekan. Mereka tidak lagi segan untuk menyerang. Formasinya bahkan berubah ke 4-3-3 dengan formasi depan diisi oleh Yodha, Ayah, dan Gema. Wah, wah, wah. Trisula, nih, ceritanya.

Entah siapa yang mengusulkan taktik itu sehingga perubahan formasi Tim Ayah sukses membobol gawang lawan. Gema menjadi pencetak gol pertama dalam pertandingan ini.

Seperti sebuah pembukaan, gol kedua untuk Tim Ayah menyusul sepuluh menit kemudian. Kali ini, rupanya Pak Cakra tidak ingin ketinggalan unjuk kebolehan. Kelihaian kakinya berhasil menambah angka untuk tim mereka.

"Berasa liat Trisula-nya Madrid." Kanala berkomentar, membuatku mengangguk.

Hingga akhir pertandingan, skor bertahan di 3-1 dengan kemenangan Tim Ayah. Pencetak gol ketiga sekaligus gol penutup tidak lain adalah Yodha. Cowok itu tampak tidak mau kalah karena Gema dan Bian mencetak gol.

Kemeriahan acara terus berlanjut. Usai menonton pertandingan sepak bola, kami berpindah ke lokasi panjat pinang. Acara puncak hari ini. Tampak keempat regu sudah bersiap untuk mengalahkan licinnya pinang demi mengibarkan bendera Merah Putih di puncaknya sekaligus mencabuti beragam hadiah yang sudah tergantung.

Leaf LetterWhere stories live. Discover now