Surat Pembuka

456 36 2
                                    


Rumah itu masih sama dari terakhir yang dia lihat. Cat temboknya masih berwarna krem, meski tidak tampak kusam. Senyumnya merekah. Dalam ingatannya, seorang lelaki paruh baya akan memperbarui kualitas warna cat setiap dua tahun sekali. Meski bukan rumah mewah, lelaki paruh baya itu selalu memperlakukan begitu istimewa rumah mereka.

Ya, rumah dengan dominasi cat berwarna krem dan cokelat di hadapannya adalah rumah mereka. Rumah tempat wanita itu tumbuh sampai usia 18 tahun. Rumah terhangat pada masa remajanya--bahkan hingga detik ini. Bangunan sederhana yang memiliki halaman paling luas dari jejeran rumah yang menjejali Gang Purnama II. Rumah yang selalu riuh dengan aroma beragam bunga, buah, bahkan rempah.

Lihat saja. Sepuluh tahun berlalu, penghuni halaman rumah mereka tidak mengalami kemunduran. Rumpun serai masih riuh menghuni salah satu sudut. Deretan soka mulai meninggi dengan pom-pom bunga pink, merah, oranye, putih, dan kuning. Rumpun beauty taiwan putih dan ungu berselang-seling sepanjang jalur setapak selebar dua meter yang langsung menuju teras depan. Pohon jambu air yang dulu masih terlihat pendek, kini tampak begitu tinggi dengan batang yang mulai membesar bahkan mulai berbunga.

Dulu, saat wanita itu masih kanak-kanak, dirinya seringkali memanjat pohon mangga harumanis di halaman samping rumah. Pohon yang kini sangat lebat dan tinggi dengan batang sangat besar. Sepertinya, dia harus membuat jadwal untuk menikmati sepoi angin bulan Juli dengan bersender di salah satu dahan pohon tersebut.

Denting lonceng yang tak asing di telinga membuat wanita itu menjuruskan tatapan ke arah pintu utama. Derak saat daunnya terbuka terdengar begitu nyaring pada siang menjelang sore. Seorang lelaki paruh baya tertegun di ambang pintu saat mata tuanya menangkap pemilik senyum paling ceria di rumah mereka.

"Aku pulang, Ayah."

Bulir hangat menyembul dari sudut mata yang mulai tampak berkeriput. Gadis kecilnya kembali. Gadis kecil yang sepuluh tahun diambil dari pelukannya. Gadis kecil yang selalu merecoki dirinya saat berkebun. Gadis kecil yang selalu ingin tahu beragam hal.

"Andam." Tergopoh-gopoh lelaki senja itu menghampiri gadis kecil yang kini menjelma dewasa. Ah, tidak. Di mata tuanya, Andamuthi Cakralian tetaplah gadis kecil yang selalu ingin tahu beragam hal. "Kamu pulang, Nak?"

Pelukan hangat membungkus wanita itu. Rasa pelukan yang masih sama seperti terakhir kali dirinya meninggalkan lelaki itu. Menenteramkan dengan aroma dedaunan membungkus tubuh rentanya. Meski tak ingin, bulir hangat pun merangsek keluar dari mata sipit Andam.

"Ini benar Andam putri Ayah, 'kan?" Betapa tak disangka jika wanita dalam pelukannya adalah si gadis kecil kesayangan.

"Iya, Ayah. Ini Andam. Andamuthi Cakralian. Putri Ayah Cakra yang semakin menggemaskan." Wanita itu terkekeh demi meminimalisir deras yang membanjir di pipi.

Lelaki tua melepas pelukan. Tatapannya menghunjam penuh sayang kepada wanita di hadapannya. "Selamat datang kembali, Putriku."

Lihatlah! Gadis kecil itu telah tumbuh menjadi wanita cantik. Tubuhnya telah lebih tinggi dari terakhir kali dia melihat. Wajah campuran chinese dan Belanda yang diturunkan dari sang nenek buyut dan ibunya tidak tampak berubah, hanya sedikit lebih tegas karena usia tak lagi di angka remaja. Mata sipitnya telah berbingkai lensa minus yang cukup tebal. Apakah pekerjaan anak perempuannya yang membuat mata itu mengalami cedera?

"Ayah enggak mau ajak Andam masuk? Di luar sini cukup panas loh, Yah." Andam mengerling.

Kekehan muncul di wajah renta Pak Cakra. "Ayah sampai lupa ajak kamu masuk saking kagetnya menemukan kamu di sini, Andam."

"Usia enggak pernah bisa bohong, Ayah. Andam paham kalau Ayah lupa."

"O, mulai berani mengatai ayahnya pikun karena tua, nih?" Pak Cakra berkacak pinggang sembari memasang wajah pura-pura galak.

Leaf LetterWhere stories live. Discover now