Surat 24

68 15 0
                                    


Semua pekerjaan beres sebelum makan siang. Andam sampai takjub dengan kecepatan kerja mereka. Tidak sia-sia menyewa tenaga keempat anak manusia itu.

Saat ini, sambil menunggu kuah shabu-shabu mendidih, mereka sedang merebahkan diri menikmati sepoi angin menjelang pukul dua belas siang. Aroma manis dari mangga-mangga yang mulai matang tersebar ke seantero halaman.

"Wah, Ndam. Mangganya boleh, tuh!" Yodha membayangkan jus mangga dingin di siang yang meskipun mendung tetap mengundang gerah.

"Coba cek, deh, Yodh. Kalau ada yang matang, potek aja. Nanti bikin jus."

Yodha bergegas bangun. Setengah berlari dia hampiri pohon mangga harumanis di sudut halaman depan.

"Dasar celamitan!" Kanala mendengkus, tetapi tubuh mungilnya beranjak untuk ikut memanjat bersama Yodha.

"Ngikut mulu, sih, Mbak? Enggak bisa lihat orang seneng sendirian apa?" Meski mendumal, tangan lelaki itu sudah sibuk mengecek mangga-mangga yang rimbun menggelantungi satu-satunya pohon paling besar di halaman rumah Pak Cakra. Terbesar kedua diduduki pohon jambu air, tepat di halaman samping.

"Sirik bae, si Bapak." Kanala menjulurkan lidah.

Gemas sekali rasanya Yodha kepada wanita satu ini. Tak pernah mau kalah darinya. Selalu memancing keributan.

Sembari memberesi peralatan, dibantu Chika, Andam mengulum senyum melihat tingkah keduanya. Mereka akan menjadi pasangan serasi kalau berjodoh.

Sementara, langit mulai menggelap. Kesiur angin membawa aroma hujan terasa lebih kencang. Daun-daun jambu kering jatuh dan berserakan memenuhi pekarangan samping rumah Pak Cakra. Semenjak musim hujan datang, mawar-mawar di sana mengalami kebotakan karena daun-daun terjangkit black spot. Sudah berkali-kali pula Andam menyemprot dengan fungisida. Namun, ya, selama penghujan masih berlangsung, black spot tak akan mau pergi.

Andam membawa kompor portabel keluar, ke teras samping, saat Kanala dan Yodha kembali. Masing-masing membawa tiga mangga harumanis matang. Aromanya menggiurkan.

"Pasangin gasnya, ya. Aku mau buat jus dulu. Kan, tolong bawain keluar yang ada di meja makan." Andam menepuk lembut bahu Gema saat meminta tolong.

"Okeh."

Andam kembali ke dapur untuk menyiapkan jus mangga, sedangkan Kanala dibantu Chika--karena gadis ini tidak enak kalau hanya diam saja--membawa keluar satu panci berisi kuah beraroma menggiurkan, satu mangkuk sedang berisi irisan cabai rawit gendon bercampur minyak wijen, dan satu tampah ukuran sedang dengan beragam sayuran.

Kanala menempatkan panci ke atas kompor portabel. Uap yang menguar berhasil menggelitik lapar.

"O, jadi ini yang namanya shabu-shabu." Chika mengendus. Dengan centong, gadis itu mengaduk-aduk isi di dalamnya. "Wah, ada beef slice-nya!"

"Makan enak kita. Padahal cuma nyari dan motongin daun pisang kering, tapi imbalannya makanan seenak ini." Yodha membaui aroma kuah.

"Kalau begini cerita, sih, enggak apa-apa, deh. Sering-sering aja minta tolong buat ngebolang." Kanala menyeringai.

Semua sudah tertata. Piring dan gelas sudah tersedia. Mejikom berisi nasi hangat pun Andam letakkan di muka pintu agar mereka tak perlu bolak-balik masuk untuk mengambil nasi. Gelas-gelas berisi cairan pekat berwarna oranye pun sudah menghadap pemiliknya masing-masing. Sebelum memulai, Andam menambahkan sedikit kuah ke dalam mangkuk berisi potongan rawit dan minyak wijen; mencampurnya sebentar agar lebih enak dinikmati.

"Mau masukin sayuran apa dulu?" Andam menatap satu per satu mereka.

"Aku mau jamur." Chika mengacung.

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang