Surat 20

71 14 0
                                    


"Mau ke mana dulu?" Gema mengeraskan intonasi agar Andam bisa mendengar pertanyaannya. Angin yang menyapu suara kala berkendara terkadang tidak mampu menyampaikan kalimat dengan benar jika tidak meninggikan intonasi.

"Ehm ... ke pasar tradisional dulu, deh, Gem. Masih buka, kan, ya, jam segini?" Begitu pun Andam. Dia bahkan nyaris berteriak agar Gema bisa mendengar tanggapannya.

"Oke."

Gema mengarahkan laju sepeda motor ke salah satu pasar tradisional di kabupaten mereka tinggal. Sebuah pasar tradisional yang cukup ramai dan padat, meski menjelang sore. Bahkan beberapa pedagang justru baru membuka lapak di atas jam 15.00. Biasanya, pedagang-pedagang sayur dan kebutuhan bumbu dapur yang menggelar dagangan pada waktu-waktu tersebut, selain pukul dua dini hari.

Gema menghentikan kendaraan di antara barisan sepeda motor yang menjejali sebuah lahan khusus parkir di luar pasar. Meski situasi sedang pandemi, keramaian tempat tersebut tak surut sedikit pun. Lokasinya yang juga dekat dengan alun-alun salah satu kecamatan tentu menambah ramai orang, apalagi menjelang Sabtu malam begini.

Setelah mendapat kartu parkir, Andam dan Gema berjalan bersisian memasuki area pasar. Meski sudah lama dirinya tak mampir ke tempat tersebut, Andam masih bisa mengingat letak deretan lapak pedagang sayur. Langkahnya pasti memasuki area yang lebih ruwet dan becek dengan aroma kurang sedap. Andam memang buruk soal rute jalan, tetapi cukup baik mengingat setiap tempat dalam satu lokasi setelah--setidaknya--dikunjungi lebih dari lima kali.

"Mau belanja apa emang? Tumben sampe perlu ke pasar."

Orang-orang Gang Purnama II dan IV sudah terbiasa belanja bahan makanan harian ke warung sayur Bude Mita yang cukup lengkap dari daging sampai buah.

"Beberapa bahan buat shabu-shabu. Kemarin-kemarin aku perhatiin warung Bude Mita dan enggak pernah nemu bahan-bahan ini." Andam mulai menengok satu per satu lapak sayuran. Sesekali tangannya mengecek pokcoy, brokoli, dan kembang kol yang tampak gemuk lagi hijau.

Gema mengangguk-angguk. "Memangnya, shabu-shabu itu apa?"

Andam menghentikan langkah lalu menoleh ke Gema. "Kamu belum pernah makan shabu-shabu?"

"Denger namanya juga baru sekarang. Aku seringnya makan seblak jeletot."

Andam menahan tawa lantas melanjutkan langkah. "Shabu-shabu itu salah satu jenis makanan berkuah dari Jepang. Cara makannya bukan diseruput, tapi dengan mencelupkan beef slice ke dalam kuah yang dibiarkan mendidih dengan api kecil terus dicelup lagi ke saus wijen sebelum dimakan. Bahan tambahannya bisa pakai beberapa jenis sayur dan bakso seafood. Cuma, yang nanti aku bikin enggak sama persis seperti yang ala Jepang. Aku buat dengan versi yang biasa Mbak Jum bikin." Benar. Andam tahu resep shabu-shabu yang ini dari Mbak Jum. Perempuan itu sering memasaknya untuk menu harian di rumah Keluarga Winata.

"Mbak Jum? Siapa dia?"

"Asisten rumah tangga di rumah Om Winata, suami Ibu." Ada yang tercubit di sebagian hati kecil Andam kala menyebut Winata sebagai suami Marlian.

Gema kembali mengangguk-angguk.

Andam berhenti di depan lapak sayur yang agaknya cukup komplit. Tangan kanannya mulai memilih dan memilah beberapa bhokcoy, brokoli, kembang kol, sawi putih, jamur merang, jamur enoki, dan jamur shimeji yang baru dia lihat hanya ada di lapak tersebut. Tidak lupa menambahkan rawit gendon untuk campuran membuat saus wijen.

Diam-diam, Gema menahan senyum setiap melihat gerakan tangan Andam. Sangat cakap dan tahu dengan pasti yang dimau. Sesuatu yang sangat menarik dari seorang wanita, di mata Gema, adalah bagaimana dia begitu terampil dalam mengurusi perdapuran. Untuk Gema, wanita yang cakap di depan kompor memiliki nilai plus tersendiri dan itu ada di Andam.

Leaf LetterWhere stories live. Discover now