Surat 30

77 13 0
                                    


Pikap Kijang merah yang disewa Gema and The Gangs sudah terparkir di depan pagar rumah Pak Cakra. Sementara menunggu Andam dan Sagita yang masih menyiapkan ini dan itu, ketiga anak manusia lainnya sibuk menyuap potong demi potong tempe mendoan yang masih mengepul hangat. Tidak lupa cangkir-cangkir teh manis terduduk nyaman di hadapan masing-masing orang yang duduk melingkar di balai-balai bambu teras.

"Terakhir kali camping pas kuliah, tapi antusiasnya berkurang." Kanala menyeruput perlahan sisi cangkir. Aroma melati begitu kuat. Harum yang memenuhi rongga dada mengirim efek relaksasi.

"Karena enggak ada Andam. Pasti begitu kalau kamu." Yodha mencomot kembali sebilah tempe mendoan yang benar-benar menggoyang lidah.

Andam memang calon istri idaman. Masakan apa saja, dia bisa mengolah dengan baik. Hatinya terkikik saat membayangkan suami Andam nanti menggendut karena tak tahan dengan kualitas rasa masakan wanita itu.

"Aku dan Andam bagai amplop dan lemnya. Kami terbiasa barengan ke mana-mana. Jadi, saat Andam enggak ada di sini, aku benar-benar kehilangan. Berasa enggak punya temen, sekalipun ada kalian."

Gema tak memungkiri. Kepergian Andam sepuluh tahun lalu memang menggurat luka tersendiri untuk mereka, terlebih Kanala yang memang sudah sangat dekat sejak SMP. Masa-masa ABG mereka yang penuh tawa seolah hanya sepintas cerita. Kisah yang adanya hanya menjadi pembubuh dalam buku kenangan masing-masing.

"Semua perlengkapan enggak ada yang ketinggalan, 'kan?" Kanala mengalihkan topik sekaligus mengingatkan. Jangan sampai ada yang tertinggal, terlebih perlengkapan urgent. Bisa gagal acara camping mereka.

"Tenang. Semua sudah dicek dengan baik dan teliti oleh Abang Yodha yang rupawan ini." Seperti biasa, darah sombong Yodha--yang hanya pura-pura itu--kembali menggelegak.

"Pengen muntah dengernya." Kanala mencebik; mencomot satu bilah tempe yang memang tersisa tinggal satu-satunya. Mengunyah dengan cepat lalu menandaskan isi cangkir.

Tepat pula dengan kemunculan Andam yang menenteng ransel sarat muatan. Sagita mengekori wanita itu. Mereka mendekati pikap dan meletakkan barang bawaan di antara jejalan barang-barang lain.

Saat menghampiri Kanala dan Duo Tiang Listrik, tatapan membulatnya terarah ke piring dan cangkir yang semuanya kosong tanpa sisa.

"Laper apa doyan kalian? Kupikir, mendoan sebanyak itu enggak akan habis." Andam geleng-geleng karena takjub.

Kanala meringis. "Enggak boleh buang-buang makanan, apalagi gratisan."

"Kalian ke mobil duluan sana. Aku mau beresin ini dulu." Andam hendak meraih piring dan cangkir.

"Biar aku aja, Mbak. Sekalian mau ambil sesuatu di dalam. Ada yang kelupaan." Sagita langsung mencegat, tak lupa mengirim ringisan.

Ada ragu yang tergambar di wajah Andam karena merasa tak enak. Biar bagaimanapun, Sagita adalah tamu di rumahnya. Masa iya wanita itu yang harus memberesi bekas makan mereka?

"Sekalian Sagita masuk lagi, Mbak. Enggak apa." Sagita merangsek agar Andam beranjak. Diraihnya satu per satu cangkir lalu meletakkan ke atas piring melamin yang cukup lebar sehingga ketiga cangkir muat di sana.

Sengaja Sagita kembali masuk agar dirinya memiliki sedikit waktu untuk menyerahkan sesuatu kepada Pak Cakra. Lelaki itu masih duduk nyaman di meja makan sembari membuka lembar demi lembar koran harian yang tak pernah absen dari tangannya.

"Loh? Belum berangkat?" Melihat Sagita kembali masuk, Pak Cakra menghentikan bacaan.

"Mau beresin ini dulu, Om." Sagita mengacungkan piring dengan tiga cangkir di atasnya.

Leaf Letterजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें