Surat 19

82 12 0
                                    

(Andam's PoV)
*
*
*

Aku tidak menemukan Kanala maupun Yodha. Hanya ada Gema di depan pagar, di atas sepeda, dengan seringai lebar sehingga menampakkan deretan gigi yang tak rapi. Ada gingsul di sisi kanan dan kirinya. Kata orang, cewek atau cowok bergingsul punya suara yang enak kalau nyanyi. Apa iya? Hm, mungkin kapan-kapan boleh kali, ya, minta dia nyanyi.

Kuhampiri Gema setelah yakin pintu terkunci dengan baik. Berjalan agak sedikit membungkuk karena ransel penuh muatan. O, iya. Hari ini, aku akan berkemah di salah satu bumi perkemahan yang ditunjuk sebagai lokasi Jumbara selama lima hari. Itulah kenapa ranselku menggembung begini. Selain membawa stok baju ganti, beberapa camilan favorit pun tak lupa menjejal di dalamnya.

"Kanala sama Yodha mana? Kok, kamu sendirian?"

"Dua anak itu harus berburu contekan. Makanya berangkat duluan. Kanala punya PR Ekonomi yang belum selesai. Yodha punya PR Matematika yang juga belum selesai. Bahkan mungkin kedua makhluk itu belum mengerjakan sama sekali." Tatapan Gema menelisik ke arah ransel di balik punggung. "Jumbara-nya hari ini?"

Aku mengangguk.

"Jadi, kamu enggak bawa sepeda sendiri?"

Aku kembali mengangguk. Niatnya, tadi aku ingin membonceng dengan Kanala. Namun, gadis itu malah sudah berangkat. Mungkin dia kirim SMS, tapi aku tak membuka ponsel sejak pagi. Sengaja menonaktifkan untuk menghemat baterai--ya, meskipun nanti bisa nge-charge di rumah orang yang akan menerimaku sebagai peserta Homestay.

"Nebeng, ya?"

"Traktir aku batagor nanti."

Aku mencebik. Ya, kami sama. Sama-sama tukang minta traktir.

"Iya, nanti aku traktir batagor, tapi bumbunya aja."

"Dih, masa kacang doang." Lirikannya menyebalkan. "Naik kalau gitu. Awas kejengkang. Gedean ranselnya ketimbang yang bawa."

Aku menggeplak bahu Gema. "Kalau ngomong suka bener."

Sambil meringis, dia elus-elus bekas geplakanku. Jadilah pagi ini aku nebeng sepeda Gema.

"Kamu dapet apa untuk Jumbara?" tanya Gema ketika kami melewati jalan kecil yang samping kanan dan kirinya sedang ditanami tebu.

Lahan ini tidak pernah menanam hanya satu jenis selama satu musim. Jika periode sekarang menanam tebu, maka periode berikutnya bisa jadi jagung atau timun suri. Pokoknya, bisa macam-macam.

"Homestay."

"Yang nginep-nginep itu, ya?"

"Kok, kamu tahu?"

"Jati juga Homestay soalnya."

Eh, dia kenal baik Jati, nih?

"Kamu temenan baik sama Jati?"

"Lumayan. Tiga tahun sekelas pas SMP. Ya, masih saling simpen nomorlah."

Aku mengangguk-angguk.

"Dia konsisten banget."

"Konsisten dalam hal apa?"

"Dari zaman SMP, ekskulnya enggak berubah. PMR mulu. Enggak bosen-bosen, tuh, anak."

"Mungkin emang passion-nya dia di sana. Siapa tahu pengen jadi perawat atau malah dokter."

"Dia emang pengen banget jadi dokter. Dokter yang bisa dikirim ke tanah perang."

Widih. Ngeri juga cita-citanya si Jati. Jarang banget pemuda atau pemudi yang pengin jadi dokter di tanah perang, loh.

"Cita-cita yang sungguh mendebarkan." Kutengok jalanan yang sisi kanan dan kirinya sudah berganti persawahan. Belasan orang-orangan sawah tersebar sejauh mata memandang. Entahlah berapa hektar luas total persawahan ini. Yang jelas sangat luas.

Leaf LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang